LUPUS
Tangkaplah Daku, Kau Kujitak!
Djvu by zayacellrokanhulu
1. Tangkaplah Daku, Kau Kujitak!
KENAL Lupus? Anak kelas satu SMA Merah Putih yang doyan
mengenakan baiu lengan paniang itu? Dia Iumayan ngetop,
Iho! Serius.
Kalau kebetulan kamu mampir ke rumahnya dan menyebut
namanya,
pasti orang seisi rumah pada tau semua.Itu kan
membuktikan bahwa dia
cukup ngetop. Setidaknya, ya... di antara orang seisi
rumahnya. Model
anaknya seperti kebanyakan remaja sekarang, kurus dan
rada tinggi.
Tampangnya lumayanlah, daripada kejepit pintu. Yang
menarik sih model
rambur dengan rambut depan yang panjang hampir menunutupi
matanya.
Sementara bagian samping dipotong rapi ke arah belakang.
Sedang
bagian belakang, panjang hampir menutupi kerah.
"Biar kayak john
Taylor," sahutnya ge-er.
"Eh, kamu dari belakang malah kayak Mick jagger
deh," begitu teman temannya
sering memujinya, "tapi kalo dari samping, kok kayak
mikrolet... ?"
Dan Lupus tak pernah merasa tersinggung diledek begitu.
Bila kamu kebetulan sempat memperhatikan dengan lebih
saksama lagi,
kamu akan melihat dia selalu membawa permen karet ke mana
dia pergi.
jangan sekali-kali minta, karena dia terlalu pelit untuk
memberikan
makanan-makanan yang sa• ngat dia sukai. Kecuali kalau
kamu tukar
dengan coklat yang harganya tentu lebih mahal. Dan Lupus
hanya akan
memakan permen karetya saat dia merasa grogi, bingung,
atau tidak
mempunyai makanan lain yang bisa dia minta dari temannya
secara
gratis. Curang, ya? Dia memang begitu. Dan satu hal yang
jelek, dia tak
pernah bisa menghilangkan kebiasaan buruknya untuk me-
nempelkan
bekas permen karet pada bangku sebelahnya yang kosong di
bis kota.
Entah berapa korban yang telah dirugikannya. Satu hal
lagi yang perlu
kamu ketahui, dia mempunyai sifat yang sangat pendiam.
Terutama kalau
lagi tidur. Tapi nggak tentu juga. Dia bisa menjadi orang
yang begitu
cerewet jika berkumpul dengan orang- orang yang
disukainya.
Dan seperti kebanyakan remaja lainnya, dia pun amat
menyukai musik.
Semua musik, kecuali musik ilustrasi film horor. Dia tak
bisa melepas
kebiasaannya untuk bernyanyi kalau lagi jalan- jalan.
Kalau sudah begitu,
teman sebelahnya akan terkejut dan menatap cemas padanva,
"Kamu lagi
batuk, ya?"
Dia juga suka menulis artikel dan kadang iuga cerpen di
maialah remaja.
Keahlian ini mungkin satu-satunya hal yang bisa
dibanggakan dari
dirinya. Karena dengan begitu, dia tak pernah minta uang
dari ibunya
kecuali kalau terpaksa (malangnya, dia justru sering
berada dalam
keadaan terpaksa harus minta uang pada ibunya). Tapi
ibunva yang baik
hati itu tak pernah kesal. Sebab kalau lagi punya uang
banyak, Lupus
sering memberikan sebagian kepada ibunya.
•••
Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu Lupus bengong
nungguin bis di
terminal Grogol. Sejak terminal bis Grogol dipindahkan ke
Kalideres (eh,
tau Kalideres, kan? ltu lho, dekat Kalifonia...), Lupus
memang merasa
dirugikan. Bis-bis yang lewat situ sudah sarat dengan
penumpang. Dan
kalau begitu, bis-bis itu pada jual mahal semua. Mereka
terlalu gengsi
untuk sekadar mampir di Terminal Grogol guna menjemput
Lupus.
Walha- sil, Lupus terpaksa sering kedapetan sedang
mengejar-ngejar
bis yang berhenti agak jauh di depen. Ditambah lagi bis
yang jurusannya
lewat sekolah Lupus termasuk langka. Kadang sebulan
sekali baru lewat.
Itu juga kalau sopirnya merasa iseng karena tak ada hal
lain yang perlu
dikerjakan (hehehe...)
Dan saat itu, Lupus masih asyik berbengong-ria. Saking
lamanya, muka
udah kaya terminal face. Mana bawaannya lumayan banyak
seperti orang
yang mau pulang kampung. lni gara-gara guru biologi yang
menyuruh
bawa contoh-contoh tanaman, baju praktek, dan
barang-barang Iain
umuk praktekum biologi siang nanti.
Bis yang ditunggu muncul. Maka seperti para transmigran
Iain, Lupus
dengan semangat ’45 turut berpartisipasi membudayakan
Iari pagi
dalam rangka mengejar bis kota. Lumayan, Lupus bisa
menyusup ke
dalam, berdesakan dengan seorang gadis manis berseragam
sekolah. Dan
ini memang merupakan satu-satunya nikmat yang diberikan
Tuhan buat
orang-orang seperti Lupus. Hanya pada saat itu Lupus
berani menyentuh
cewek, mencium bau parfumnya dan sekaligus mengajak- nya
ngobrol.
Siapa tau jodoh ....
Dan tak terlalu aneh memang kalau Lupus pun mempergunakan
kesempatan itu. Setelah berlagak tak sengaja nginjek kaki
cewek manis
itu, Lupus dengan wajah memelas mencoba memulai komu-
nikasi
dengannya. Meski kata orang, menjalin komunikasi itu bisa
dengan
beberapa cara, tetapi rasanya cara inilah yang paling
tepat buat Lupus.
"Eh, maaf, ya. Nggak sengaja. Abis didorong- dorong,
sih. Sakit, ya?"
ekspresi Lupus benar- benar sempurna menunjukkan rasa
penyesalannya.
Wah, ada bakat jadi aktor watak dia.
"Enggak. Enggak sakit. Injek aja terus!" sahut
cewek itu dingin. Lupus
kaget. Berkat sandiwara- nya yang kurang sempurna, dia
sampai Iupa
mengangkat kakinya yang menginjak kaki cewek itu.
"Eh, kamu marah, ya?" Wajah Lupus penuh
penyesalan. Kali ini serius.
Gadis itu tersenyum.
Oh. God, ini kesempatan baik.
"Nama kamu siapa?" tanya Lupus Iagi setelah
beberapa saat saling
membisu. Gadis itu sedikit heran mendengar pertanyaan
yang rada ‘Iain’
itu. Dasar cowok, abis nginjek minta kenalan. Beberapa
saat dia cuma
memandang Lupus. Lupus jadi serba salah sendiri. Jadi
mikir, apa dosa
nanya begitu?
"Saya Yanti. Kamu siapa?" sahutya balik
bertanva.
"Saya Lupus," jawabnya sambil mengulurkan
tangan. Dan bisa ditebak.
Untuk seterusnya mereka ngomong soal sekolah, cuaca,
film, musik, dan
makanan favorit.
Di luar jalanan macet. Pagi-pagi begini memang banyak
orang yang
bertugas. Tapi Lupus sama sekali tidak mengutuki keadaan
itu. MaIah
bersyukur. Dan di Senayan, seseorang turun. Meninggalkan
bangku
kosong yang Iangsung diduduki Yanti. Lupus pun segera
menitipkan
bawaannya yang banyak kepada Yanti. Contoh- contoh
tanaman serta
diktat yang besar-besar.
Tapi sial! Di sebelah Yanti ternyata duduk seorang cowok
yang langsung
mengaiak ngomong Yanti. jauh lebih agresif dari Lupus.
Ngomongnya
disertai humor-humor yang sama sekali tidak Lucu menurut
Lupus, tapi
bisa membuat Yanti tertawa-tawa kecil. Lupus mengutuki
Yanti yang
begitu mudah akrab dengan cowok itu, sampai menelantarkan
dirinya.
Dasar cewek! Makinya dalam hati.
Dan dia terus menggerutu sampai kelupaan turun. Akhirnya
dcngan
tergesa-gesa. Lupus pun menerobos desakan penumpang untuk
segera
melompat ke pintu bis. "Kiri! Kiri, Bang!"
teriaknya sambil menggedorgedor
pintu. Sang kondektur memandang sewot ke arahnya.
"Sial, lu!
Bukan dari tadi bilangnya!"
Lupus melompat turun sambil meledek kondek• tur yang
marah-marah.
Lalu jalan menelusuri trotoar. Tapi, astaga!
Barang-barang bawaan serta
diktatnya ketinggalan di bis! Lupus Iangsung balik hendak
mengejar bis
itu, tapi yang tertinggal cuma kepulan debu dan derunya.
Lupus habis
memaki- maki. Dasar cewek pembawa petaka! Percuma tadi
bagun pagipagi
nyari contoh tanaman buat praktek kaIo akhirnya begini!
Mau
pulang Iagi, jelas nggak keburu.
Wah, rasanya mau teriak keras-keras. Menum- pahkan
kekesalan yang
mbludag di hatinya. Tapi situasi tak mengizinkan. Banyak
anak-anak
sekolah yang Iagi jalan. Jangan-jangan malah dikira gila.
JaIan paling
aman iaIah memakan permen karet dan menggigitnya
keras-keras. Dia
nyesel, kenapa tadi rambutnya si Yanti nggak ditempelin
permen karet
saja, biar tahu rasa!
"Hei... Lupus!!!!" dari kejauhan terdengar
suara cewek memanggil. Lupus
segera menoleh. Eh, itu Yami sambil mengacung-acungkan
tanam- an
serta diktatnya.
"Kamu Iupa bawa ini, ya?" teriaknya Iagi. Wajah
Lupus berubah cerah.
Lho. Yanti kan harusnya turun di Mayestik, kok dia
bela-belain
ngebalikin barang-barang itu sih? pikirnya.
"Wah, makasih banget, Yan! Bawa sini dong!"
sahut Lupus girang sambii
menghampiri Yanti, tetapi Yanti malah menjauh sambil
tertawa-tawa.
"Ayo, tangkap dulu, dong. Hahahaha .... "
Dan Lupus pun mengejarnya dengan mudah. Hm, romantisme
ndeso!
Mereka pun tertawa- tawa.
"Kamu sombong ya, turun nggak bilang- bilang!"
sahut Yami terengahengah.
Lupus cuma mencibir. "Kamu sih keasyikan ngobrol
sama cowok
itu. Jadi ngelupain saya!" balas Lupus.
"ldih, cemburu, ya?"
"Nggak!!" jawab Lupus dengan wajah memerah.
Tapi akhirnya Lupus pun
dengan setia menemani Yanti menunggu bis yang akan lewat
berikutnya.
Nggak peduli bel sekolah yang berdentang di kejauhan. Dan
dia malah
bersyukur ketika bis yang ditunggu tak kunjung tiba.
2. Kencan Pertama
"Kalian liat Lupus?" tanya Poppi pada Ita dan
Yuni yang lagi asyik
nggosip di ujung sekolah. kelas-kelas sudah rada sepi,
pelajaran baru
saja berakhir beberapa menit yang Ialu. Tapi beberapa
anak masih
terlihat nongkrong di sekolah. Miasih doyan ngumpul.
Heran-padahal
besok pasri ketemu lagi.
"Nggak-" jawab Ita singkat.
"Ke mana sih anak itu? Tadi masuk, kan?"
Poppi jelalatan memandang pada sekelompok anak yang
barjalan pulang
beriringan.
"Tadi kan waktu keluar main kedua dia dipanggil Pak
Kusni, mungkin
masih di sana. Ngapain sih nyari dia?"
Poppi cuma tersenyum sambil mengedipkan matanya. Lalu
berlari ke
ruang kesenian. Betul juga, anak itu Iagi asyik ngobrol
sama Pak Kusni.
Pasti soal musik arau urusan kesenian Iainnya.
"Selamat siang, Pak. Maap, mengganggu sebentar. Lagi
asyik, ya ?Saya
mau pinjam Lupus sebentar bo|eh?" sapa Poppi ramah.
Pak Kusni
mengangguk, Lupus pun ditarik ke luar.
"Ada apa, Pop?"
"Saya cuma mau ngasih selamat. Saya sudah baca
cerita kamu yang
menang sayembara itu. Hayo, kamu nggak bisa mengelak
Iagi, katanya
mau traktir!"
Lupus nyengir sambil mengacak-acak rambutnya.
"Eh, kamu tau juga, ya? Boleh deh kalau kamu mau,
asal jangan yang
mahal-mahal."
"Sekarang?"
‘"Terserah. Saya selalu punya kok waktu untuk cewek
cakep macam
kamu," goda Lupus.
"Nggak usah ngerayu. Tapi jangan siang ini,
ya?"
"Apanya? Ngerayunya?"
"Bukan. Itu, traktirnya. Siang ini saya udah
dijemput. Mau Iangsung
kursus Inggris. Gimana kaIau... eh, gini aja. Gimana
kalau kita nonton
aja? Mau?"
"Di tempat gelap-gelapan? Mau dong. Nonton
apaan?"
"Apa aja. Di bioskop murahan dekat pasar situ. Kira
nonton yang sore
aja. jam limaan, soalnya besok kan sekolah. Tapi
pulangnya beli bakso,
ya?"
"Boleh. Terus berangkatnya gimana? Saya jemput kamu
atau kamu
jemput sa..."
"Gombal, kamu jemput saya dong. Gitu aja deh, saya
udah ditunggu sopir
nih. Sampai nanti, ya?"
Poppi berlari ke pintu gerbang. Lupus tersenyum waktu dia
membalik
dan melambaikan tangannya.
***
Jam lima kurang seperempat. Lupus belum juga kelihatan
batang
hidungnya. Keterlaluan. Apa dia tak tau kalau saya udah
rapi begini
sejak setengah jam yang Ialu? pikir Poppi kesal. Memang
benar, pulang
dari les lnggris tadi, dia tak biasanya langsung mandi.
lengkap dengan
gosok gigi dan cuci rambut. Lalu setengah jam duduk di
depan kaca.
Sibuk dengan segala macam atributnya. Madonna juga kalah
menor.
Setelah selesai, dia berputar-putar di depan kaca. Ke
kiri ke kanan.
Persis anak TK Iagi karnaval.
Tapi sekarang, hampir setengah jam dia duduk di teras.
Membolak-balik
majalah dengan kesal. Poppi tau, Lupus doyan ngaret.
Dalam artian suka
datang terlarnbat dan suka makan permen karet. Tetapi
Poppi sama
sekali nggak bisa menerima kalau pada saat bersejarah
seperti ini, dia
masih mati-matian mempertahankan kebiasaan ngaret- nya.
Boleh
dibilang ini kencan pertama mereka, kalau memang jodoh. Soalnya
Poppi
sendiri sebetuInya sudah mulai tertarik ketika baru masuk
SMA, enam
bulan yang Ialu.
Dia masih ingat, saat itu dia langsung ditunjuk jadi
ketua kelas. Dan dia
pun mulai memerintah- kan teman-teman lain untuk membawa
segala
macam keperluan kelas. Dari sapu. kalender, hiasan
dinding, ember, lap,
keset, pokoknya macem-macem deh. Soalnya saat itu juga
masih dalam
masa ‘perkenalan sekolah’. Lupus yang datang terlambat
iuga kebagian
dapat tugas membawa bulu ayam.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, anak-anak sudah
ngumpul di sekolah.
Hari kedua itu akan diadakan Iomba kebersihan kelas. Maka
mulailah
Poppi dengan lagak bak panglima perang meme- riksa bawaan
anak
buahnya. Ketika sampai pada bangku Lupus, dia sedikit
heran karena
anak itu kayanya cuma bawa buku satu. Nggak bawa tas atau
bawaan
lainnya.
"Hei, mana bulu ayamnya?" "Hm? Oya...,
tunggu sebentar. Mudahmudahan
nggak jatuh di jalan!" sahut Lupus sambil
membolak-balik
Iembaran bukunya yang kucel. Lalu dia pun mengambil
sehelai buIu ayam
yang terselip di situ. "Ini dia. Untung nggak jatuh.
Satu cukup, kan?
Untuk apa sih? Kilik kuping, ya?" Ianjutnya kalem.
Poppi hanya melotot
padanva, diiringi tawa teman-teman vang Iain. Tapi Lupus
memang tak
salah. Dia benar-benar nggak tau kalau yang Poppi maksudkan
itu bukan
sekadar sehelai bulu ayam, melainkan kemoceng.
Poppi sering geli sendiri jika ingat kejadian itu. Dan
entah kenapa, dia
jadi suka membayangkan Lupus. Anak itu polos, jarang lho
bisa ketemu
cowok polos begitu di Jakarta ini.
"Hei, Perawan!" teriakan keras dari jalanan
mengagetkan Poppi dari
lamunannya. Tanpa dia sadari, sekelompok anak muda tengah
ramai
menertawakannya dari beIik pagar. Poppi lang- sung
melirik ke jam
tangannya. Sudah Iewat magrib. Dia pun dengan cepat masuk
ke dalam.
langsung ke kamar dan menuliskan kalimat I hate Lupus
seratus kali di
buku hariannya dengan tinta merah. Setelah itu, dia
merasa matanya
mulai basah ....
***
Apa pun alasannva, Poppi sudah tak mau dengar lagi. Pasti
Iagu lama
yang bakal keluar dari mulut Lupus yang brengsek itu.
Putusannya sudah
bulat, Poppi tak sudi berbicara dengannya lagi. Sakit
hatinya
diperlakukan begitu. Kalau untuk pertama kali saja Lupus
sudah berani
mengingkari janji begini, bagaimana untuk seterusnya?
Dan ketika Lupus melewati tempat duduknya, Poppi
melengos. Persis
lembu. Sedang Lupus dengan sikap yang biasa langsung
menuju
bangkunya. Menarik-narik rambut Utari yang panjang untuk
mima salinan
pe-er.
Sampai keluar main kedua, Lupus tetap tidak datang minta
maaf pada
Poppi. Keterlaluan, pikirnya. Padahal dia sudah dari jam
setengah
delapan pagi siap pasang muka bertekuk. Siap untuk
bersikap sedingin
biang es. Tapi Lupus tetap tak datang. Malah asyik ngocol
soal Queen
sama Meta.
Pulang sekolah tanpa diduga, Lupus menunggu di dekat
mobil. Diam
memandangi daun-daun yang terbang tertiup angin. Poppi
memandang
heran ke arahnya. Kadar kemarahannya sudah berkurang
sedikit.
"Kamu mau apa?" sahutnya ketus ketika sampai di
depan Lupus. Lupus
kaget dan menoleh.
"Saya..."
"Sudah ketemu alasan yang pas untuk membela
diri?"
"BeIum. Saya justru Iagi nyari. Kamu ada ide?
Soalnya saya nggak bakat
ngebohong..." sahut. Lupus sedih.
Dengan dongkol Poppi mendorong tubuh Lupus yang
menghalangi pintu
mobilnya, lalu segera membuka pintu tanpa menoleh.
"Tunggu, kamu nggak adil memperlakukan saya dengan
kasar begitu.
Saya kan nggak pernah berbuat kasar sama kamu .... "
"Apa? Saya nggak adil? Dan bagaimana dengan kamu
yang seenaknva
mengingkari janji waktu kemarin itu ?" bantah Poppi
ketus. "Alasan apa
Iagi yang mau kamu katakan sekarang?"
"Justru itu yang mau saya bicarakan. Saya nggak
punya alasan apa-apa.
Makanya saya baru mau ngomong setelah nggak ada
teman-teman Iain.
Saya malu sekali. Kamu jangan mengira saya nggak sedih
batal pergi
sama kamu. Kamu harus mengerti saya. Maafkan kecerobohan
saya .... "
"Ini Iebih dari sekadar ceroboh. Ini soal tanggung
jawab!" teriak Poppi.
"Kamu egois! Pengecut!"
Meledaklah amarah Poppi. Lupus semakin terpojok. Matanya
menatap
kosong ke depan. Dan sampai sepuluh menit berikutnya, Poppi
terus
berkicau dengan kecepatan suara yang sukar diukur dengan
stop-watch
sekalipun. Sampai akhirnya, dia kecapekan sendiri.
Menatap Lupus yang
sama sekali tidak bereaksi.
"Nah, sekarang terus terang aja. Kenapa kamu nggak
datang kemarin
sore? Nggak usah berdalih macam-macam!" suara Poppi
melemah. Lupus
kelihatan ragu. "Saya..."
"Ya, kenapa?" desak Poppi tak sabar.
"Saya nggak tau rumah kamu .... " suara Lupus
pelan sekali.
"Apa?" Poppi terbelalak.
"Maafkan saya. Saya memang paling norak. Saya malu
sekali dengan
kebodohan saya ini. Sungguh mati, ini yang pertama buat
saya untuk
pergi dengan seorang gadis. Saya terlalu gembira dan tak
tau apa yang
harus saya Iakukan. Saya sama sekali nggak sadar kalau
saya tak pernah
punya alamatmu. Jadi, mana mungkin saya bisa menjem-
putmu? Kau mau
memaafkan saya? Lain kali, saya Janji..." suara
Lupus makin pelan.
Beberapa saat, Poppi tak tau apa yang harus dilakukannya.
Hanya
matanya yang menatap lebih bersahabat.
***
"Lupus!" panggil Poppi pelan, ketika Lupus
memasuki kelas keesokan
harinya. Lupus Iangsung menoleh dan menghampiri Poppi.
"Ada apa?"
"Hus, jangan keras-kears! Anak nakal, nanti sore
saya tunggu kamu lagi
jam lima. Ini alamat saya, jangan sampai hilang,
ya?"
Poppi menyerahkan secarik kertas, Ialu seperti tak
terrjadi apa-apa dia
berjalan meninggalkan Lupus.
"Eh, tunggu!" tahan Lupus.
"Ada apa Iagi?" Poppi celingukan takut kepergok
temannya.
"Ini, saya juga mau ngasih alamat. jemputlah saya
kalau kamu kelamaan
menunggu .... "
Poppi melotot.
3. Prestise jazz
SUDAH tau, kan, kalau Lupus itu di samping anak kelas I
SMA Merah
Putih, juga jadi wartawan freelance majalah remaja Hai?
Nah, itulah,
makanva sekarang ini dia lagi suntuk banget ngedengerin
suguhan musik
jazz Open Air untuk remaja. Mana duduknya pas dekat
loud-speaker
berkekuatan tinggi. Suara-suara cempreng yang keluar dari
situ
Iangsung masuk telinga Lupus tanpa difilter Iebih dahulu.
Lupus berada di antara para remaja yang kebanyakan SMA
tanpa bisa
keluar dari situ. Dan pada saat begini, dia benar•benar
keder dengan
profesi wartawan yang disandangnya. Karena dari tempatnya
duduk, dia
tak bisa Ieluasa bergerak mengambil gambar-gambar yang
baik untuk
pelengkap berita yang akan dia tulis. Dan rasanya rada
sungkan juga
umuk meminta jalan pada remaja-remaja di depannya, untuk
kemudian
mengambil posisi memotret di dekat panggung.
Masalahnya, tadi dia sempat keki ketika baru datang, dan
hendak naik
ke panggung umuk memotret close-up sang penyanyi, seorang
petugas
menghardiknya keras, "Hei, Anak kecil! Ngapain naik-naik
ke situ?
Nakal, ya. Ayo turun!!"
Lupus keki banget dibilang anak kecil. Wah, tu orang
nggak tau kalau
saya wartawan! gerutu lupus. Dan dia menjadi keki kuadrat
ketika
seorang pemuda yang mengenakan tanda pengenal panitia
menyuruhnya
menjauh dari tempat artis- artis jazz. Dikira mau minta
tanda tangan
apa?
Makanya, sekarang ini dia lebih suka duduk dengan manis
di rumpul
seperti remaja Iainnya. Tanpa bisa menikmati suguhan
musik yang
digelar. Dia merasa bodoh sekali. Wartawan kok gitu? Dan
dia bingung.
apa yang harus dia tulis dalam artikelnva nanti. Lupus
semula agak
menolak juga ketika Mas Wendo-sang pemred majalah
Hai-menyuruhnya
meliput berita jazz Open Air ini. Masalahnya dia nggak
ngerti dan
kurang suka jazz. Tapi daripada menolak, ya coba-coba
aja. deh!
Dan sekarang dia benar-benar suntuk. Bukan- nya nyesel
nonton ginian,
tapi nggak nyangka bakal ngerusak telinga begini.
Tiba-tiba seorang
cewek yang duduk di sebelah mengeluh. Saat itu musik Iagi
break, jadi
suasana kembali tenang. Banyak penonton lain yang duduk
dekat loudspeaker
seperti Lupus, bernapas lega sambil meyakinkan bahwa
kupingnya belum budek.
"Aduh, saya pingin pipis. Gimana ya, cara keluar
dari sini?" kata cewek
itu. Lupus yang lagi asyik bengong nyeletuk, "Pipis
di sini aia. Banyak
rumput kok .... "
"Ogah ah. Takut nge-top!" cewek itu nyengir.
"Takut nge-top apa takut dilihat saya?" tantang
Lupus.
"Apa iya kamu mau Iihat? Kalau bener saya
bela-belain nih!" jawab
cewek itu Iagi. Gantian Lupus yang nyengir.
Sementara cowok yang di sebelah Lupus ikutan ngomong
juga,
"Eh, ngomong-ngomong dari tadi Iagu yang dimainin
tuh ganti-ganti atau
yang itu-itu terus?"
Lupus kaget juga ditanya begitu. Untung cowok itu nggak
tau kalau
Lupus itu wartawan musik.
"Nggak tau. Lho, kamu tadi sama temen-temen kamu
pada goyanggoyang
kepala. Dikirain tau Iagunya...?" Lupus balik
bertanya.
"Tau? Boro-boro, suka aja nggak!!"
"Ha? jadi ngapain dong kamu manggut-manggut kaya
tadi begitu?"
"Ya... ikut-ikutan yang lain aja. Kita berani
taruhan kalau mereka juga
nggak ngerti musik apa yang dimainin barusan. Mereka cuma
biar
kelihatan aksi aja. Lucunya, ada yang sok bawa pacarnya
ke sini. Belabelain
bayar uang masuk cuma supaya pacamya mengira dia punya
selera
musik yang tinggi. Tapi itu udah wajar kok. Maklum deh,
namanya aja
remaja .... "
"Iya, betul tuh. Saya juga nyadarin kok. Dateng ke
sini cuma ikut-ikutan
temen aja," temen sebelahnya mendukung.
Lupus tambah mikir. Jadi, apa yang mereka cari dengan
nonton
beginian? Dikirain dia doang yang nggak ngerti musik yang
disuguhin.
Nggak taunya semua sama saja! Pantesan tepuk tangan
penonton seperti
diatur. Kalau ada seorang yang tepuk tangan, yang Iainnya
pada ikutan.
Lucunya ada yang menoleh dulu ke teman sebelahnya, baru
ikutan tepuk
tangan.
"Kalau yang disuguhin jazz ringan kaya lagu-Iagunya
Whitney Houston
atau Michael Frank sih boleh-boleh aja. Saya suka. Tapi
ini sih, yang
main musik asyik sendiri. Dengan improvisa-
si-improvisasi. Sedang yang
nonton malah komat- kamit berdoa supaya lagunva cepet
habis.
berharap supaya Iagu berikutnya Iebih enak didengar.
Syukur-syukur
kalau kenal lagunya. Jadi kayanya para pemusik itu
bermain untuk
dirinya sendiri .... " cewek Iain ikut komentar.
Sementara musik kembali mengalun. Dan para penonton
memulai lagi
sandiwaranva. Manggut- manggut, dan menggoyangkan
kakinya. Lupus
jadi tertarik dengan pembicaraan remaja-remaja yang di
sebelahnya
tadi. Mereka seperti mewakili seluruh remaja yang
berjubel membanjiri
pagelar- an siang bolong itu. Lupus seperti menangkap
sesuatu. Sesuatu
yang bisa menjadi bahan tulisannya. Sesuatu yang mungkin
tak
terpikirkan Oleh wartawan lain. Mungkin hasilnya tak
begitu Bagus,
tetapi lupus akan mencoba.
Beberapa minggu kemudian, majalah-majaiah Ramai
memberitakan
pagelaran musik tersebut. Majalah hai juga memuat. Lupus
yang menulis.
Tapinya dia kini malah lagi asyik becanda dengan Mas
Aries yang asyik
melukis. Suasana di kantor redaksi Hai ini memang santai
dan
menyenangkan. Itulah sebabnya, kenapa Lupus betah di
situ. Hampir
saban pulang sekolah, kala teman- temannya pada main
ding-dong di
dekat pasar swalayan, Lupus Iari ke kantor Hai.
Orang-orang yang
kumpul di sini memang merupakan gabungan dari beberapa
karakter
yang unik. Ada yang doyan ngecap, ada yang doyan tidur di
kolong meja,
ada yang pendiam, ada yang hobinya godain cewek Iewat,
ada yang
doyan nyanyi, ketawa, ngeledek, tau yang kerjanya
nggambar meIuIu.
Seperti Aries ini. Ngakunya dari rumah mau kerja. Sudah
dapet restu
dari ibu-bapaknya. Ee, nggak taunya sampai di kantor
kerjanva
ngggambaaaar melulu. Ada iuga Jipi-perjaka yang hobinva
nempelinnempelin
dan gunting-guntingin kertas. Bakat ini memang kentara
ketika
dia duduk di TK. Nilai pelajaran seni melipat kertas-nya
dapet angka
delapan. Tapi yang kurang menguntungkan adalah kulitnya
yang rada
kelarn dibanding rekan-rekannya. Sampai pernah ada
teka-teki yang
paling nge-top di kantor ini dan hampir semua orang di
situ bisa
menjawabnya: ’Kenapa kaus kaki jipi berwarna coklat?
jawabnya singkat:
‘Karena kelunturan kulit kakinya .... "
Tapi Jipi bukannya sakit hati, malah bangga.
"Hei, kok pada ketawa-ketawa? Ajak-ajak dong ....
" Mas Wendo ttbatiba
muncuI. Dia baru datang dari seminar. Nggak jelas seminar
apa.
Kayanya sih seminar tuyul.
"Lho, ini Iagi ngetawain kamu kok. Mas," jawab
Mas Aries cuwek.
Wendo, yang nggak siap bakalan langsung di-kick begitu,
langsung ngajak
Lupus ngomong. Ngobrol sama Lupus memang aman. Dia jarang
nge-kick
orang, kecuali kalo terpaksa.
"Hei, Lupus. Tulisan kamu tentang jazz kemarin itu
bagus Iho! Jauh
berbeda dengan yang ditampilkan majalah-majalah Iain.
Kamu tak bicara
soal kaidah-kaidah musik jazz, kamu tak bicara soal
teknik bermain
mereka, soal struktur harmoni irama mereka, soaI apa yang
mereka
mainkan itu fusion, ragtime, blues, atau funky. Kamu
mening- galkan itu
semua. Tapi yang kamu ketengahkan benar-benar dari kaca
mata
remaja. Dan itu bagus. Itu yang membuat tulisanmu Iebih
mudah
dipahami. Tidak berkesan menggurui. Dan remaja seusia
kamu memang
Iebih suka baca artikel yang kamu tulis itu, tanpa
bingung-bingung
memikir- kan istilah-istilah aneh vang diketengahkan oleh
kebanyakan
media. Kamu bisa merasakan emosi yang begitu karena kamu
terjun
Iangsung sebagai remaja. Remaja yang mengamati musik
jazz. Teruskan,
Lupus .... "
Lupus kaget juga. Nggak nyangka bakal dipuji begitu
banyak. Karena dia
tau, Mas Wendo jarang memuji orang. jadi kalau dia memuji
berarti dia
memang benar-benar menyukainya.
Kamu mungkin heran, ya, apa yang ditulis Lupus dalam
artikelnya.
Singkat saja. Dia cuma merangkum pendapatnya dan pendapat
remajaremaia
yang ikutan nonton waktu itu. Dia tidak mengritik musik
yang
ditampilkan, tapi justru mencela panitia yang terlalu
memaksakan
remaja- remaja untuk menyukai musik yang bukan gejolak
jiwa mereka.
Dan anehnya, kok para remaia yang dicekoki ya mau saja.
Itu yang
ditulis Lupus. Tapi terus terang, dia sendiri pada
awalnya tak yakin
bahwa tulisannya itu bagus. Bakal dapat pujian. Bayangkan
saja, jika
seorang yang sama sekali tak tau musik jazz disuruh
menulis tentang
jazz. Apa yang bisa ditulis?
Tapi Lupus cukup pintar untuk memetik sesuatu yang
berharga dari
pengalamannya. Bahwa sesuatu yang kelihatan remeh, yang
kadang tak
terlihat di mata orang, bisa menjadi sangat menarik.
Tinggal kepekaan
kita untuk menangkap ’sesuatu’ itu. Dan ini yang menjadi
modal Lupus
untuk tetap menulis. Tulisannya memang tak akan mempeng-
aruhi apaapa.
tetapi bisa merupakan sumbangan kepada remaja pembacanya
untuk
membuka cakrawala pemikiran mereka lebih luas lagi.
Telepon berdering. Lupus dipanggil. Ada orang yang ingin
bicara
dengannya. Lupus pun menerima.
"Halo, kami dari panitia jazz Open Air kemarin.
Terima kasih untuk
artikel yang Anda buat. Itu lebih berharga bagi kami,
daripada apa yang
kebanyakan orang ketengahkan di majalah lain, untuk
koreksi diri. Anda
benar, kita tak bisa memaksakan selera remaja. Lain kali
kita akan
adakan acara serupa, tetapi lebih disesuaikan dengan
selera remaja.
Anda bisa kasih pandangan? Oya, bulan depan ada acara
jazz lagi di
TIM. Anda mau datang? Kalau mnu, akan kami kirim
undangannya .... "
Lupus terdiam. Nonton jazz lagi? Oh. God, kali
ini-apalagi yang bisa saya
tulis?
4. Playboy Duren Tiga
TENGAH hari bolong. Anak-anak kelas I A2
sedang dilanda kantuk
yang luar biasa. Siang-siang begini memang lebih enak
tidur, ketimbang
dengerin guru Bahasa Indonesia yang asyik dengan gaya
bahasanya.
Yang dengan genitnya mencontohkan, bagaimana seseorang
bergaya
bahasa itu.
Tetapi anak-anak tetap tak berminat.
Apalagi di deretan bangku belakang. Tak ada tanda-tanda
kehidupm di
sana. Cuma Boim yang tampak asyik main ramal-ramalan
dengan Herumoko.
Heru, yang bawaannya ngamuk melulu, membiarkan si Boim
meramal setiap sidik jari dari telapak tangannya. Dia
sendiri sudah dari
setengah jam yang lalu terbang dengan mimpi indahnya.
Lupus, yang duduk di sebelah Boim, mendekat. Penasaran
kepingin
diramal juga. Lupus segera menyodorkan tangan kanannya.
Boim
meneliti. Berlagak mikir. Lalu dengan meyakinkan, dia
bersabda, "Kamu
panjang umur. Dan garis-garis keberuntunganmu juga not so
bad.
Bolehlah. Tapi ini, lho, garis yang paling atas ....
"
"Kenapa garisnya?" Lupus penasaran.
"Tidak seperti saya punya. Arah dan garisnya jelas.
Sedang kamu tidak
.... "
"Saya kenapa?"
"Ini garis jodoh. Kalau saya ketauan, jodohnya
jelas. Lihat aja sendiri.
Dan bukti nyata kamu sudah tau, kan? Nah, kalau kamu...
ah!"
"Kenapa jodoh saya?"
"Berantakan .... "
"Sialan!" Lupus menarik tangannya. Boim memang
suka sok tau. Anak itu
nama sebenarnya Imbauan. Baginya tak ada yang lebih
berharga di dunia
ini selain cewek dan cewek melulu. Dan ceritanya sudah
setinggi langit
kalau dia bisa jalan bareng dengan primadona-primadona
SMA Merah
Putih ini. Ge-er-an memang. Entah karena dia
memproklamirkan dirinya
sendiri atau ada bebe- rapa temannya yang iseng, dia
sering dijuluki
playboy. Ganti-ganti pasangan terus. Tapi si Boim ini
cuma playboy cap
duren tiga. Mau nampang modalnya cuma geretan merek duren
tiga.
Rokok aja nebeng melulu. Kaus kakinya juga nggak pemah
ganti. Habis
pake langsung dijemur. Pernah sekali waktu sembahyang
jumat di
sekolah, dia membuka sepatu. Baunya, bujubune ....
Membuyarkan
konsentrasi sembahyang.
Dan seminggu sekali, setiap malam minggu, dia patah hati.
Herannya dia
nggak pernah kapok. Pernah sekali dia naksir si Elsa.
Cewek jet-set yang
cakepnya nggak ketulungan. Kontan saja cintanya ditolak.
Berhari-hari
dia langsung nggak nafsu makan. Semua unek-uneknya
ditumpahkan
kepada Lupus.
Dan nasihat Lupus cukup sederhana, "Sudah- lah, Im,
nggak usah
frustasi. Ditolak kan belum tentu diterima .... "
***
Akhirnya bel tanda sekolah usai berdentang. Anak-anak
seperti
tersengat. Semangat hidup yang hampir sirna tadi, kini
kembali. Guru
bahasa yang tadinya mau meneruskan beberapa bab yang
tersisa (masih
beberapa bab kok dibilang sisa?), tak bisa berbuat
apa-apa ketika anakanak
serempak berteriak, "S’lamat siiiang. Bu
Guruuuu...!!"
Itulah anak SMA. Masuk sekolah pagi-pagi cuma mau
nungguin bel
pulang di siang hari. Makanya Boim yang belagu itu pernah
berfilsafat
(dalam hal ini, dia jelas ingin menonjolkan kemampuannya
berbahasa
lnggris), "You know, my friends, school is just a
plaee to rest between
week-ends!" Dan dia dengan bangganya tidak
mengeratui bahwa semua
temannya pernah membaca kata-kata itu di toko baju.
"Hei, Kucing! Kok bengong aja? Mau ikut
pulang?" tiba-tiba suara
cempreng menyapa Lupus yang lagi bengong di pintu
gerbang. Lupus
melotot dipanggil ’kucing’ begitu. Siapa lagi kalau bukan
si Boim. Dia
memang Iebih senang memanggil kucing daripada ‘Pus...
Pus...’ begitu.
Kan sama aja, katanya.
"Hayo, nungguin Poppi, ya? Saya dengar kamu ada main
sama dia. Hu...
kuno! Poppi sih udah bekas saya. Udah abis deh saya
kerjain," sambung
Boim lagi. Lupus hanya mendengus, lalu berjalan
menelusuri trotoar.
"Ayolah, pulang saja. Kamu ke Grogol, kan? Ikut saya
aja. Saya juga mau
ke sono. Biasa, ada mangsa baru. Yuk?" Boim menarik
Lupus untuk ikutan
di motomya yang butut.
Tiba-tiba Poppi berlari mendekat. Lupus melepaskan
cengkeraman
tangan Boim. "Halo, Lupus. Sori, ya, kita nggak bisa
pulang bareng. Saya
dijemput sih. Mau langsung les .... "
Lupus mengangguk, lalu menoleh pada Boim.
"Saya ikut kamu!" Boim ngakak.
Di perjalanan, Boim banyak cerita tentang pengalamannya.
Lupus cuma
jadi pendengar setia saja. Tanpa komentar apa-apa. Apanya
yang mau
dikomentarin kalau yang diceritakan cuma ’gom- balan’
melulu? Sampai
suatu ketika dia cerita soal Irma. Anak baru pindahan
dari Semarang
yang kece, tapi nggak memble.
"Saya heran, kok belakangan ini mimpi-mimpi saya
selalu dihadiri oleh
sosok tubuh mungilnya. Kenapa itu, ya?" ujar Boim
belum puas nggombal.
"Irma yang mana sih? Saya kok nggak kenal?"
tanya Lupus polos.
"Kamu dasar kuper. Irma itu, Iho, yang anak baru.
Masa nggak tau? Dia
kan pernah bikin cowok-cowok pada ngerebutin. Yang cakep
kaya Yanti
lssudibjo .... " ujar Boim rada berapi-api.
"Yanti lssudibjo? Yang mana lagi, tuh? Anak baru
juga?" Lupus makin
bingung.
"Biang panu! Yanti itu foto model dan penyanyi yang
kondang. Nah, si
Irma mukanya setipe dengan dia. Kamu tau Irma nggak
sih?" Boim jadi
ngotot.
"Oooo, yang menang kontes kebaya kemarin itu?"
"Betul!! Akhirnya terbuka juga matamu." "
Lho, dia kan memang pernah nanyain kamu. Kapan, ya? Oya,
kemarin!"
"Hah? Bener nih?" Boim mendadak girang.
"Tuuh, kan, apa saya bilang.
Belakangan dia memang sering saya pergokin lagi mencuri
pandang ke
arah saya. Dia emang naksir saya. Saya merasakan hal itu
kok. Oya,
Lupus, dia tanya apa aja tentang saya? Tell me, my
friend, is there
something I should know?"
Lihat saja, kalau ada maunya dia baru manggil Lupus,
bukan kucing.
"Katanya... bener nggak kamu yang waktu itu bawa
motor bebek item ke
sekolah .... "
"Hm, kapan, ya? Soalnya-terus terang-saya suka
ganti-ganti kalo bawa
motor. Tapi..., hm ya! Saya inget. Sabtu kemarin saya
memang bawa
motor bebek item ke sekolah. Kok dia tau, ya?"
"ltulah, dia sangat memperhatikanmu. ..," sahut
Lupus geli.
"Iya, ya. Betul juga. Terus nanya apa lagi?"
"Dia tanya, kamu di rumahnya buka bengkel
gitu?"
"Lho, kok dia tau? Memang sih-kakak saya memang buka
bengkel di
samping rumah. Tapi bengkel elite lho! Kok dia tau sih?
Kalo gitu dia
sangat memperhatikan saya, ya? Aduh, Lupus, saya jadi
utang budi nih
sama kamu .... "
"Ah, biasa. Sama teman. Kalau gitu bener dong ya
tebakan Irma...!"
"Lho. Irma nebak apa? Kamu bilang saya playboy, ya?
Wah, jangan gitu
dong, Lup. Meskipun saya, yeah-sering ganti-ganti pasang-
an, saya kan
bisa setia juga. Atau dia nebak motor saya suka
ganti-ganti? Atau soal
nama bekenku di sekolah? Ah, itu belum seberapa Iho, Pus.
Kalau kamu
ingin tau lebih dalam kamu bisa ke rumah saya. Saya akan
senang
menyambut tamu agung seperti kamu. Oya, Irma nebak apaan
sih?"
cerocos Boim kaya petasan.
"Enggak apa-apa. Soalnya honda bebek item yang kamu
bawa tempo hari
itu punya dia, yang emang lagi dibetulin di bengkel.
Mungkin di bengkel
kakak kamu, ya?"
Saat itu juga, Lupus diturunkan secara tak hormat di
pinggir jalan.
5. Razia Rambut
Lupus berjalan memasuki pintu gerbang sekolah. Menenteng
ransel
sambil iseng menghitung jumlah cewek yang sudah asyik
majang di hari
yang sepagi dan seindah ini. Ada yang asyik
ketawa-ketawa, ada yang
sibuk meneliti daftar absen. Cari-cari, siapa yang enak
buat digosipin.
Salah satu di antaranya adalah Ruri. Anak ini memang
biang gosip.
Hobinya ngegosipin anak-anak sesekolah. kalo kamu ingin
ngetop-dalam
arti jadi gunjing- an anak-anak satu sekolah-gampang aja.
Tinggal suruh
temen kamu ngarang cerita bohong kepada Ruri. Tanggung
satu hari
bakal menyebar. Dan jangan heran kalau kerangka cerita
yang kamu
berikan itu akan berkembang jadi satu cerita panjang yang
penuh
bumbu.
Ruri memang berbakat jadi wartawan gosip. Tapi ketika
Lupus iseng
bertanya tentang cita-citanya pada suatu hari, jawabannya
cukup
mengejutkan. Dia ingin kerja di BAKIN. Mau jadi agen
rahasia negara
kita. Ya, Tuhan, nanti bukannya mengorek keterangan dari
musuh, malah
keceplosan ngebocorin rahasia negara. Dari sekarang
dibilangin aja,
buat kamu yang demen gosip. jangan jadi agen rahasia,
deh. Bukan apaapa,
kurang begitu cocok aja dengan profesi dan hobi yang
telah kamu
tanam sejak keeil.
Sementara, udara pagi ini masih segar. Sesegar wajah
Suli, cewek manis
berambut panjang yang berlari-lari ke arah Lupus.
"Hei, Anak kecil. mau ke mana? Kok buru- buru?"
goda Lupus. Anak itu
cuma mencibir.
"Eh, Lupus. Telepon umum di depan sana jalan
nggak?" tanyanya di sela
napas yang terengah- engah.
"Enggak tuh!" jawab Lupus jujur.
"Yaaaa..." wajah Suli jadi berubah kebingung-
an. Dia berbalik hendak
kembali ke kelasnya. Tapi Lupus segera menahannya.
"Eh, Suli, kalau mau telepon, pake aja. Kok nggak
jadi?"
"Lho, katanya nggak jalan?"
"lya memang. Telepon kan nggak bisa jalan. Kalau
misalnya bisa jalanjalan,
ya repot dong. Kamu malah nggak bisa pakai. Nanti main
kejarkejaran."
"Sial!" Suli kembali berlari ke arah telepon
yang di depan sana.
Meninggalkan Lupus yang masih asyik mengulum permen
karetnya.
Dan begitu Lupus memasuki kelasnya, Budi sang ketua kelas
sudah
menyambutnya, "Hei, Lupus! Hebat kamu. Saya udah
baca majalah kamu
yang terbaru yang memuat tentang kegiatan di sekolah
kita. Begitu,
dong. kita harus bangga- banggain sekolah kita
juga!"
Lupus cuma nyengir dan mengambil tempat duduk paling
belakang.
Teman-temannya memang sudah pada tau kalau Lupus itu
sering menulis
di majalah Hai. Dan baru-baru ini dia memang dipaksa
teman-teman dan
gurunya untuk menulis tentang kegiatan amal di
sekolahnya. Lupus sama
sekali tak bisa menemukan sesuatu yang menarik yang bisa
ditulis dari
kegiatan itu, tapi karena paksaan dan rasa tak enak dari
teman dan
gurunya, lupus pun menuliskan. Untung hasilnya tak begitu
mengecewakan.
***
Jam istirahat pertama hampir tiba, ketika terdengar ada
suara ributribut
di luar. Lupus melongokkan kepalanya lewat jendela.
Memanggil
salah seorang anak yang lewat di dekat jendela kelasnya.
"Sst! Ada apa sih?" naluri kewartawanannya
selalu timbul kalau
mendengar ada ribut-ribut.
"Gawat tuh, ada razia rambut gondrong!" jawab
anak itu terburu-buru.
"Razia rambut?" Lupus terkejut. Memang tak ada
hal lain yang paling
bikin dia sebel, selain razia rambut. Di mana guru-guru
datang
menggebrak kelas yang tadinya tentram dan damai dengan
membawa
gunting. Persis tekab yang menggebrak sarang perjudian.
Kemudian
dengan seenaknya, beliau-beliau itu mengguntingi
rambut-rambut yang
panjang melewati kerah dan menutupi telinga. Padahal
anak-anak sudah
mengubah taktik dengan hanya memanjangkan rambut bagian
depannya
saja. Seperti yang sekarang lagi mode itu. Tapi tetap
saja kena razia.
Lupus yang rambutnya panjang baik di depan maupun di
belakang, jelas
jadi sibuk sendiri. Dia buru-buru mengemasi buku-bukunya.
"Mau ke mana kamu, Lupus?" tanya Heru yang
duduk di sebelahnya.
"Kabur!" jawab Lupus seenaknya, sambil matanya
tetap mengawasi guru
gambar yang membelakangi murid-murid.
"Kabur? Maksud kamu lewat jendela?" tanya Heru
curiga.
"Iya. Apa kamu pikir saya mau minta izin dulu sama
guru itu, lalu baru
kabur? Begitu? Don’t be a fool, friend. Lebih baik kamu
awasi guru itu,
ya? Soalnya bahaya nih, ada razia rambut...," sahut
Lupus nekat
melempar tasnya ke luar. Tetapi begitu dia menclok di
jendela, sang
guru tiba-tiba membalikkan tubuh. Matanya langsung
tertuju pada figur
Lupus yang bak maling lagi beroperasi. Kalau lagi
terdesak, anak ini
memang suka nekat.
Tak pelak lagi, Lupus langsung diseret ke depan kelas
untuk diinterogasi.
"Anu, Pak, saya sakit perut yang tak tertahan- kan.
Daripada kecolongan
di kelas..." sahut Lupus membela diri. Tapi tampang
marah guru gambar
itu tak bisa terhapus dengan alasan yang sesederhana dan
tanpa
pemikiran yang matang itu.
"Saya tak mau dengar alasan macam-macam. Ini jelas
penghinaan berat
yang Anda tujukan kepada saya. Sekarang juga, ikut saya
ke kantor
Kepala Sekolah!" hardiknya. Lupus tak bisa berbuat
apa-apa. Dia
memang mengaku salah. Tapi situasi ini justru
menyelamatkannya. Pada
saat yang bersamaan, dua orang guru menyerbu ke dalam
kelas sambil
membawa gunting.
"Semua pria yang berambut panjang, harap diam di
tempat. Akan
diadakan pengguntingan rambut gratis. Tinggal sebut mau
model apa.
Lumayan, kan daripada pergi ke salon?" sahut
beliau-beliau itu mencoba
melucu. Tapi bahkan Robert pun, yang doyan tertawa, tak
tertawa.
Dan saat itu Lupus sudah diboyong ke kantor Kep-Sek.
***
Lupus memasuki ruangan yang hening itu. Sementara sang
Kep-Sek,
figur yang selalu ditakuti dan disegani murid-murid,
duduk tenang
sambil menekuni buku yang ada di depannya. Guru gambar
yang tadi
mengantar dan menyampaikan prolog serta maksud dan tujuan
membawa
Lupus ke kantor itu, telah ke luar ruangan. Hu.
Pengaduan! maki Lupus
dalam hati.
"Kamu tau kenapa kamu dibawa kemari?" sahut Pak
Kep-Sek tenang.
"Anu. Pak. Saya mau minta maaf atas kesalahan saya.
Sungguh mati, Pak,
saya sangat menyesali tindakan saya yang di luar kontrol
itu. Bapak kan
tahu bahwa kadang-kadang manusia memang suka bertindak di
luar
kontrol. Tapi di samping itu, saya juga mau memberi tahu
bahwa laporan
kegiatan amal di sekolah kita tercinta ini sudah dimuat
di majalah Hai,
Pak," sahut Lupus pelan.
"Oh, jadi kamu toh yang menulisnya?"
Lupus mengangguk cepat. Wajah Kep-Sek berubah menjadi
agak ramah.
"Ya... ya, saya sudah baca tadi pagi. Anak saya kan
langganan majaIah...
apa tadi namanya? Hai, ya, majalah Hai. Saya suka kepada
murid yang
bangga akan sekolahnya sendiri seperti kamu. Boleh
diteruskan bakat
seperti itu. Oya, siapa nama kamu tadi?"
"Lupus."
"Ya. Lupus. Saya sudah sering membaca tulisanmu, tapi
baru kali ini
ketemu orangnya. Kamu yang sering menulis laporan ilmu
penge- tahuan
dari sekolah-sekolah lain, kan?" Lupus agak
terkejut. Apa iya dia sering
nulis begituan? lni aja baru sekali-kalinya. Tapi toh ia
buru-buru
mengangguk sambil tersenyum hormat.
"Saya memang sudah terlalu tua," lanjut
Kep-Sek. "Sudah sangat sulit
mengenali anak-anak seusiamu. Apalagi zaman sekarang ini,
rata-rata
wajah mereka hampir sama semua. Padahal kalau saya mudah
mengenali
kamu, lebih enak Iagi. Saya bisa dengan mudah menghubungi
kamu kalau
sewaktu-waktu kita bikin kegiatan lain yang patut
diketengahkan di
media kamu."
"Tapi, Bapak kan mudah saja mengenali saya?"
jawab Lupus
bersemangat.
"Oya? Bagaimana caranya?" "’Lihat saja,
Pak. Rambut saya unik. Tidak
seperti anak lain yang dipotong pendek. lni kan bisa
menjadi ciri khas
yang mudah dikenali. Bahkan dari jarak jauh sekalipun
.... "
Kep-Sek membetulkan letak kaca matanya. Dahinya berkerut.
"Oya-ya. Rambut kamu gondrong. Tapi itu kan
melanggar peraturan. Apa
kamu tak kena pemeriksaan tadi?"
"ltulah, Pak. Kalau rambut saya dipotong seperti
anak lainnya, nanti
Bapak malah sulit mengenali. Apalagi wajah saya begini
pasaran. Bapak
kenal Ridwan, Andi, atau Roni itu? Kami berempat sering
dikira anak
kembar. Padahal kan tidak. Saudara juga bukan. Hanya
nenek mereka
dengan nenek saya saja yang memang sama-sama nenek-nenek
.... "
Pak Kep-Sek itu cuma menganguk-angguk. Mungkin kurang
kopi dengan
pembicaraan Lupus yang kacau. Tapi itu memang tak-tik
Lupus. Kalau dia
berhasil lolos razia kali ini, berarti paling tidak
selama tiga bulan
berikutnya tak akan ada razia lagi. Karena beliau-beliau
juga angetangetan
aja bikin kegiatan gila-gilaan seperti ini. Lupus jelas
merasa
beruntung, karena dia amat segan memo- tong pendek
rambutnya.
Nantinya nggak kece lagi, katanya. Soal kalau nanti ada
razia lagi, itu
bisa dipikirkan nanti.
"Bagaimana, Pak? Saya bisa keluar sekarang? Saya
juga akan tetap
berusaha mengangkat nama Sekolah kita tercinta ini, Pak.
SMA Merah
Putih!" sahut Lupus mantap, sambil mengulurknn
tangannya (dikata
layangan apa?). Pak Kep-Sek pun menyambut uluran tangan
itu.
"Selamat buat Anda. Berkaryalah terus mum- pung
masih muda!"
Lupus mengangguk hormat. Lalu melangkah mantap ke luar
kantor Kep-
Sak. Tiba-tiba dia teringat pada tasnya yang tadi
dilempar ke luar
jendela. Jangan-jangan masuk ke got?
6. Styling Foam
Lupus mendadak genit. Jadi teliti banget dalam merawat
tubuh.
Setidaknya, itu kata Lulu, adik Lupus semata wayang. Dia
yang
melaporkan hasil laporan pandangm matanya selama empat
hari terakhir
ini kepada ibunya.
"lya lho, Bu-dia jadi genit sekarang!"
"Ah, masa?"
"Ealah, lbu nggak percaya. Saya sering liat dia
ngaca sendirian berjamjam.
Senyum-senyum sendiri. Gila kali ya, Bu?"
"Hus!"
Tapi memang betul. Lupus yang biasanya bangun telat. yang
selalu
terburu-buru mandi dan berpakaian sekenanya untuk
mengejar waktu
yang tinggal beberapa menit lagi agar tidak terlambat
sekolah, kini
subuh-subuh sudah bangun. Lebih rajin dari ayam jagonya
yang kini
mulai enggan berkokok, lantaran jatah jagungnya dikurangi
biasa,
resesi!. ltu sebabnya dua hari yang lalu, dia beli jam
weker kuno dari
kaleng itu. Yang bunyinya bisa ngebangunin orang
sekelurahan, Lantaran
keras sekali. Ayam betinanya aja sempat histeris sewaktu
mendengar
dering weker itu untuk pertama kalinya.
Lulu yang tidur bersebelahan kamar dengannya. protes
keras atas
digunakannya weker sialan itu.
"Ya ampun, Lupus, pasang weker jangan di tengah
malam buta begini
dong!"
"Kamu aja yang dasarnya malas. Ini kan udah pagi.
Bangun, dooong!"
Tapi rajinnya Lupus ini memang rada aneh. Bangun
pagi-pagi cuma sibuk
milihin baju, dan menyetrikanya. lni aneh, dan memancing
kecu- rigaan
Lulu. Biasanya, boro-boro disetrika, baju dari jemuran
langsung main
samber aja. Dan bayangin juga kalau dia yang biasanya
mandi sekali
sehari, kini jadi tiga kali sehari sehabis makan (kaya
minum obat
aja!).Jadi rajin sikat gigi, ngilik-ngilik kuping
(soalnya nggak lucu kan
kalo pacaran tapinya budi-rada budek dikit. Sebab orang
pacaran itu
biasanya lebih sering bisik-bisik, atau ngomong
mendesah-desah,
ketimbang teriak- teriak. Dan itu butuh pendengaran yang
peka lho!).
Tapi, apa sih penyebab dari semua ini? Kita ikuti saja
laporan pandangan
mata selanjutnya dari reporter kita, Lulu.
"Ternyata, dia lagi jatuh cinta, Bu."
"Ah, masa? Rasanya tak terlalu aneh kan kalau
seseorang itu suatu saat
akan berubah. Ibu senang kalau dia sudah mulai
memperhatikan dirinya
sendiri .... " komentar ibunya singkat.
Dan Lulu tak bisa menahan diri untuk tidak terus-terusan
meledek.
Sengaja nyanyi lagu First Love keras-keras,
.... Ev’ryone can see, there’s a change in me They all
say I’m not the
same kid I used to be It’s my first loye, what I ‘m
dreaming of.....
Tapi Lupus acuh saja. Orang kata, punya pacar itu memang
enak. Kita
jadi ada yang memperhati- kan. Semangat belajar, semangat
sekolah.
Dan setiap malam minggu, bisa punya acara khusus. Nggak
memble aje di
rumah. Bisa menjurnal diri, dan terus meningkatkan
penampilan. Tau kan,
siapa pacar Lupus? Yak, betul. Namanya Poppi. Teman
sekolah Lupus
yang hampir saban hari diantar-jemput sopirnya.
Lupus juga jadi rajin membersihkan muka pake face tonic.
Dan yang jadi
korban adalah Lulu. Alat-alat pembersihnya jadi
transmigran semua ke
kamar Lupus. Seperti sekarang ini, dia nyolong styling
foam adiknya,
untuk membentuk rambut- nya yang gondrong. Bolak-balik
memandangi
poster Duran Duran untuk ngikutin gaya rambutnya. Sudah
setengah
jam lebih dia berkutet di depan cermin. Setelah merasa
pas, dia keluar
kamar dan mulai berjalan hilir-mudik di depan Lulu yang
lagi asyik
makan. Bak peragawan.
"Lu, rambut saya keren nggak?"
"Hei, kamu pake styling foam saya, ya!!" jerit
Lulu seketika. Tanpa
ampun nasi-nasi yang lagi dikunyahnya berhamburan ke
luar.
"Pelit! Minta sedikit kenapa sih?" sahut Lupus
sambil berlari masuk
kamar kembali. Lulu menggedor-gedor dari Iuar.
"Lupuuuus, jangan diabisin dong. Itu kan
mahal!"
"Duile, minta dikit aje. Ntar kalau saya kelihatan
keren kan kamu bangga
juga. Bisa dipromosiin ke temen-temen kamu. Bisa nebeng
top. Siapa sih
yang nggak bangga punya kakak kayak john TayIor?"
terdengar suara
Lupus dari dalam.
"Hu..., ge-er!"
Dan setengah jam berikutnya, dia kembali Mengatur-atur
rambutnya.
Dengan membasahi sedikit pada bagian pinggir, biar
memberi efek
basah yang tahan lama. Ha, siapa bilang cuma cewek saja
yang merasa
rambut sebagai mah- kotanya!
Setelah selesai dia menemui ibunya yang asyik di dapur
untuk minta doa
restu (dikata mau perang apa?). "Bu, saya pergi
dulu. Mungkin sampai
malam atau nginep, jadi nggak usah dicariin deh. Kan
malam minggu .... "
"Huuu... Ibu sih lebih kebingungan kalo kehilangan
sendok daripada
kehilangan kamu!" ledek adiknya.
Lupus cuma mencibir sambil membuat balon- balonan dari
permen
karetnya yang dikunyah.
"Lu, rambut saya keren, ya? Pake efek basah!"
sahut Lupus nyombong,
sambil mengusap-usap rambutnya. Sengaja mau bikin keki.
"Hm... kalau mau tahan lebih lama lagi efek
basahnya, bukan begiru
caranya...," komentar Lulu seraya meneliti rambut
Lupus.
"Eh, gimana dong?" sahut Lupus penuh minat.
Nggak nyangka adiknya
bakal kasih perhatian juga.
"Ceburin aja kepalanya ke sumur... hahaha ....
"
"Jangkrik!"
***
Sekarang ini, dia lagi asyik duduk di pojokan sambil
makan permen karet
dalam bis Patas yang ditumpanginya. Khusus untuk acara-acara
bersejarah
seperti malam minggu ini, Lupus memang mengistimewakannya
dengan menumpang bis Patas, bukan bis biasa. Alasannya,
di samping
lebih leluasa duduk, parfum dan rambutnya nggak
berantakan berbaur
oleh penumpang-penumpang lain.
Dan kini, masih mengunyah permen karet, dia lagi asyik
ngebayangin
Poppi yang bakal terka- gum-kagum melihat penampilannya
yang rada
lain. Terutama rambutnya. Padahal bapak-bapak yang duduk
di
sebelahnya sempat geleng-geleng kepala melihat rambut
Lupus yang
menurutnya seperti tak disisir selama berminggu-minggu.
Sementara bis Patas-nya masih melesat menem- bus udara
malam yang
kian dingin. Di luar memang berhembus angin kencang.
Lupus sempat
memaki-maki ketika dia membuka jendela, dan diserang oleh
angin sialan
yang mengacak-acak rambutnya.
"Kenapa, Nak, kok marah-marah?" tanya
Bapak-bapak di sebelahnya.
"Eh, enggak kok. Anu, anginnya kencang sekali. Bikin
rambut kusut
saja...," jawab Lupus sambil nyengir.
"Bikin kusut?"
"Iya, kok Bapak heran?"
"Lho, tadi bukannya lebih kusut lagi?" tanya
bapak itu lagi.
Lupus nyengir, dan membuang pandangan ke luar jendela.
Tapi, ya
amplop! Di luar turun hujan. Rintik-rintik. Dan itu tak
menjadi soal benar
kalau tidak disusul oleh hujan deras. Bagaimana saya bisa
turun tanpa
kehujanan?
Dan ketika bis itu melewati pasar Blok M, Lupus cemas
total. Semua
penumpang pada turun, kecuali Lupus. Dan biasanya
kondektur suka
seenaknya menurunkan penumpang kalau tinggal sendirian.
Lupus sibuk
komat-kamit di pojokan. Baca mantera biar ngusir pikiran jahat
sang
kondektur. Tapi, benar juga. Begitu lewat Blok A,
kondektur itu mulai
menghampiri Lupus.
"Dik, turun di mana?"
"Cilandak! Kenapa?"
"Ya, gimana, ya. Kita mau langsung pulang nih.
Pindah bis belakang aja,
ya? lni ongkosnya saya kembaliin!"
"Tapi..."
"Ayo, cepatlah. Masa saya harus ke Pondok Labu
dengan satu penumpang
saja?"
Lupus tetap protes. Masalahnya di luar masih hujan deras.
Tapi apa
boleh buat, kondektur itu cukup besar juga badannya.
Terpaksa Lupus
diturunkan di pinggir jalan. Dengan dongkol yang
meluap-luap dia
melompat turun. Tapi, ya, Tuhan, di daerah situ sama
sekali tak ada
tempat berteduh. Mana hujan masih deras. Walhasil, dengan
keadaan
basah kuyup, dia berlarian menelusuri malam. Sampai
menemukan
pember- hentian bis. Dan ketika sebuah metro melintas,
Lupus
melompat ke dalamnya.
Kini keadaannya tidak lebih dari tikus yang baru kejebur
got. Basah
kuyup. Rambutnya yang tadinya keren, kini mlepek. Bisa
dibayangkan,
betapa dongkolnya dia. Bagaimana bisa datang ke rumah
Poppi dengan
keadaan basah kuyup begini? Betapa memalukan. Dan apa
kata orang
tuanya nanti?
Kini dia pun dilanda dilema. Tetap datang atau balik ke
rumah. Kalau
balik ke rumah. tak bisa dibayangkan, betapa
terpingkal-pingkalnya Lulu
melihat rambut Lupus yang kini benar-benar basah, bukan
hanya efek
basahnya saja. Ah, itu tidak boleh terjadi. Lagi pula
sudah kepalang
tanggung, rumah Poppi sudah beberapa kilometer lagi.
***
Sesampainya di Cilandak, hujan masih turun. Lupus cuma
berjalan lemas
ke tempat pember- hentian bis, dan menyandar lemas pada
tiang
penyangga. Benar-benar don’t know what to do. Tak ada
gairah lagi
untuk terus ke rumah Poppi yang tinggal beberapa meter
lagi. Semuanya
sirna bersama tetes air huian yang membasahi tubuhnya.
Lupus
mengusap wajahnya dengan sedih. Baru kali ini dia merasa
begitu
menderita. Kedinginan sekujur tubuh. Bibirnya pun mulai
membiru.
Setengah mati menahan air matanya yang hendak berbaur
bersama air
hujan, karena kesal. Tidak, saya harus pulang! Harga diri
saya bakalan
jatuh di pasaran! batinnya.
Dan dia hendak melangkah pergi, ketika matanya tertumbuk
pada
seorang gadis yang berpayung beberapa langkah dari situ.
Lupus mencoba mtnghampiri.
"Poppi?" tanyanya ragu. Gadis itu terkejut dan
menoleh. "Lagi ngapain,
Pop?"
"Ya, Tuhan, Lupus. Kok basah kuyup begini? Dan bibir
kamu itu... birunya!
Aduh, kamu kehujanan. ya?" berondong Poppi sambil
meng- guncangguncangkan
bahu Lupus.
"Enggak!" sahut Lupus kering
"Ayo ke rumah. Saya udah cemas banget, lho. Saya
pikir kamu nggak
bakalan datang, hujan-hujan begini .... " sahutnya
lagi sambil menarik
tangan Lupus.
"Tapi saya malu, Pop. Basah kuyup begini .... "
"Kenapa malu? Saya malah bangga, karena kamu
bela-belain dateng
meski hujan deras, itu kan tandanya kamu bertanggung
jawab. Selalu
menepati janji. Saya suka orang yang menghargai janji
.... " sahut Poppi
ceria. "Ayolah, nanti kamu kedinginan. Di rumah akan
saya suruh
sediakan air hangat, dan baju buat ganti. Biar nggak
masuk angin .... "
Lupus jadi terharu.
"Satu pertanyaan lagi, Poppi. Apa kamu lagi nungguin
saya dengan
berpayung kaya tadi?"
"Pertanyaan jelek! Abis nunggu siapa lagi dong? Saya
pikir kamu belum
basah kuyup begini. jadi saya bawain payung. Tapi
ternyaxa kamu doyan
basah-basahan. Senang mandi hujan. Dasar, masa kecil
kurang bahagia,
ya?"
Lupus tersenyum kecut. Nah, kan, punya pacar itu enak?
7. Some Things Are Better Left Unsaid
MALAM telah larut (emangnya gula?), ketika Lupus dan Anto
melintasi
jalan sepi sekitar kuburan Belanda. Udara dingin
menggigit, dan bunyibunyi
jangkrik nyaring di kejauhan. Seperti hendak
mendramatisir
keadaan. Dan memang, suasana di situ hening sekali. Bibir
Lupus saja
terkatup rapat, sama sekali tak berminat memecah- kan
kesunyian yang
mencekam. Bukan apa-apa, nanti jangan-jangan dia malah
kaget sendiri.
Sementara Anto, temannya yang pendiam itu, tak mencoba
mengakrabkan suasana. Padahal di daerah ini, dia tuan
rumahnya. Lupus
kan cuma pendatang. Diajak menginap, mumpung besok ada
libur sehari.
Kalau mau tahu hari libur besar atau tanggalan merah,
tanya saja pada
Lupus. Dia memang paling hafal. Jauh-jauh hari kerjaannya
memang
cukup ngafalin begituan. Hobi kayanya.
Dan sekarang, mereka berdua baru saja pulang dari nonton
midnight di
bioskop murahan dekat pasar inpres. Nomon film lamanya
Linda Blair,
Hell Night. Serem juga. Tak heran kalau kini mereka masih
merasa
tegang. Mana pulangnya lewat kuburan, lagi.
"Nto, nggak ada jalan lain yang lebih sepi,
ya?" Akhirnya Lupus nggak
betah diam melulu.
"Lho-kamu bilang tadi kita cari jalan yang terdekat.
Ya, di sini ini. Kalau
lewat jalan raya. udah nggak ada kendaraan. Bisa sih,
jalan kaki, tapi
nyampenya besok. Kan rada capek juga lho! Memang serem
juga lewat
sini. Apalagi kalau kamu pernah dengar cerita-cerita aneh
yang sering
terjadi di sini. Seperti minggu lalu. Pak Karta-yang
biasa jaga malam itucerita
bahwa dia melihat seseo- rang berjalan tanpa kepala di
kuburan
di sebelah sana. Dia menjinjing sesuatu, yang nggak
taunya kepalanya
sendiri .... "
Lupus cepat-cepat menutup telinganya. Dia keki berat.
Lagi seramseram
begini malah cerita yang nggak keruan.
"Lho, kamu nggak percaya, Pus? Beneran, kok. Pak
Karta orang jujur,
saleh, dan hampir nggak pernah bo’ong, kecuali kalau
nggak ada orang
yang tahu bahwa dia bo‘ong...," sela Anto tanpa
merasa salah.
"Anto, apa kamu nggak pernah diajari bagaima- na
cara melawak yang
baik?" ujar Lupus geram.
"Terserah kalau kamu nggak pereaya. Saya nggak
maksa. Saya juga
nggak lagi melawak. Kamu jangan nuduh sembarangan dong.
Itu fitnah
namanya. Dan fintah itu adalah perbuatan setan. jadi kamu
sama aja
dengan setan .... "
"Ya, dan saya akan mencekikmu bila kamu nggak mau
berhemi berkicau!"
Tapi tiba-tiba keduanya terpekik perlahan, ketika
terdengar suara
botol dibanting tepat di dekat mereka.
Secara refleks, keduanya berpe- gangan. Memandang
sekeliling dengan
hati berdebar. Dan muncullah sebuah sosok yang seram dari
balik pohon
kamboja. Memandang sinis ke arah mereka.
"Sst..., itukah setan yang diliat Pak Karta? Kok ada
kepalanya, ya?" bisik
Anto ketakutan.
"Diam kamu!"
Sosok itu mendekat. Diikuti oleh beberapa sosok tubuh
lainnya. Ratarata
berwajah kasar dan seram. Anto berbisik pelan pada Lupus.
"Gawat, Pus. Itu bukan hantu. Mereka anak-anak
berandal seberang
kuburan sana! Mereka pasti mau bikin setori dengan
kita!"
"GiIa, apa alasan mereka mengganggu kita?"
sahut Lupus keras.
"Sst, jangan keras-keras. Ya, Tuhan, kamu bisa
dihajarnya .... "
Dan kini wajah sosok yang pertama terlihat sudah sangat
dekat di depan
mata Lupus. Menatap tak berkedip dengan sorotan mata yang
tajam.
Lupus pun, seperti tak terjadi apa-apa, berbisik kepada
Anto, "Kamu
benar, Nto. Dia bukan hantu. Tapi lihatlah, dia mencoba
menakut-nakuti
kita dengan sorotan mata seperti itu. Dikira kita takut,
ya ...."
Tapi bisikan Lupus cukup jelas terdengar oleh orang itu.
Maknadengan
sekali gerakan, kerah Lupus pun dicengkeramnya. Anto
ketakutan
setengah mati.
"Lu pikir gue hantu yang nakut-nakutin lu, ya? Lu
mau belagak jagoan di
sini? Anak mana lu sampe berani-beranian ngebacot di
depan gue!" sahut
orang itu kasar, sementara teman-temannya mulai mendekat.
Lupus memberontak, dan melepaskan cengkeraman tadi. Lalu
mundur
beberapa langkah dengan mata yang masih menatap
berandalan
tersebut. Anto segera menahannya, dan berkata terpatah-
patah, "Mamaaf,
Bang. Kita berdua kemaleman pulang. dan mau numpang lewat
sini.
Kita nggak bermaksud mau koboi-koboian kok .... "
Berandalan itu meludah ke tanah. Lupus mau ikut-ikutan,
tapi
tenggorokannya kok ya terasa kering.
"He. lu punya duit nggak?" salah seorang
temannya yang dari tadi diam,
tak sabaran. Maju beberapa langkah. dan mencengkeram bahu
Anto.
Lupus yang nggak tegaan, langsung maju hendak menolong
Anto. Tapi
tangan lain menariknya keras-keras.
"Jangan, Bang. jangan pukul teman saya. Ini saya ada
beberapa ribu.
Ambil aja, Bang. Cuma itu uang kami!" sahut Anto
cepat. Lupus pun
didorong sampai jatuh di kaki Anto. Dia mencoba bangkit
dan mau
membalas. Tapi Anto menahan- nya, "Kalem. Pus.
Mereka banyakan.
Nggak ada gunanya melawan .... "
Akhirnya dengan beberapa ribu dan maki- makian kotor, mereka
pun
membiarkan Lupus dan Anto pergi. Setelah jauh, Anto
menghela napas
lega.
"Enak amat mereka minta-minta uang? Emang- nya jalan
nenek
moyangnya?" gerutu Lupus! Tapi, tentu saja anak-anak
berandalan itu
tak mende- ngar. Wong mereka udah ngacrit.
"Ya, memang begitu kerjaan mereka. Ngom- pasin
orang-orang yang
lewat. Mereka-mereka itu sebenarnya tinggal nggak jauh
dari rumah
saya. Saya kenal sama yang tadi dorong kamu. Si jalil.
Tapi memang saya
nggak pernah main sama mereka. Ngapain! Kerjaannya saban
malem
nongkrong di jalanan. Godain orang yang lewat, atau
sengaja cari garagara.
Untung aja kamu nggak jadi ngelawan. Pus. Kalau mereka
marah,
habislah kita .... "
"Eeeee... emangnya saya berani?"
***
Sore berikutnya Lupus masih di rumah Anto. Seharian mendekam
di
kamar sama Anto. Anto ini memang jarang ke luar rumah.
Kerjanya cuma
pasang kaset atau dengar radio seharian. Semua acara
radio dari
berbagai radio swasta, dia hafal. Sampai laporan ekonomi
tentang harga
pasaran bawang putih, bawang merah, bengkuang, kunyit,
dan sejenisnya
itu didengar dengan khusyuk sekali. Mau jualan apa?
Lupus yang tak ada kerjaan cuma menemani sambil membaca
beberapa
buku.
"Nto, saya pulangnya diundur besok aja, ya. Malam
ini, saya mau ke
markas para berandal yang tadi malam itu. Markasnya di
dekat pos yang
kemarin kamu bilang, kan?"
Anto terkejut. "Gila. Ngapain ke sana? Mau cari
penyakit? Lupakan uang
kita yang amblas, Pus. Itu jalan yang terbaik. Nggak usah
dipikirin
terus. Dan jangan berlagak kaya jagoan. Di kandangnya,
mereka lebih
berbahaya lagi. Oh, Tuhan, lupakan pikiran gila itu, Pus.
Nggak usah
balas dendam. Ini kan bukan zamannya film koboi ....
Lupakanlah!"
Lupus memang bukan tipe orang yang suka filsuf-filsufan
dalam
berbicara. Dia lebih condong pada orang yang berbicara
seenaknya,
polos, dan kadang bikin keki. Tapi kini dia menatap Anto
dengan wajah
serius.
"Ada hal-hal yang lebih baik kita lupakan dalam
hidup ini. Apalagi
pikiran-pikiran negatif yang hanya akan membuat kita
resah. Tapi kamu
nggak usah cemas, To. Saya bukannya jagoan yang mau
mengobrak-abrik
sarang mereka. Saya tertarik untuk mengungkapkan cerita
yang mungkin
menarik dari remaja-remaja macam mereka. Kenapa mereka
tak betah
di rumah seperti kamu? Atau, bagaimana mereka memandang
masa
depannya .... "
Anto terdiam, menatap bingung pada Lupus. Dia memamg
sudah lama
berkawan dengan Lupus, tapi hingga kini, dia sering tak
bisa menebak
bagaimana jalan pikiran Lupus sebenarnya. Dan dia
benar-benar tak
habis pikir ketika malamnya Lupus nekat pergi sendirian ke
pos anak
berandalan itu.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lupus baru pulang.
Dengan wajah
pucat karena mungkin semalaman tak tidur.
"Alhamdulillah, ternyata kamu masih hidup!"
sahut Anto sambil
menyerbu Lupus. Lupus cuma mencibir, lalu merebahkan
tubuhnya di
tempat tidur.
"Lho, kok langsung semaput? Kamu nggak di
apa-apain?"
"Apa hak mereka memukul saya? Saya datang secara
baik-baik kok, dan
dengan maksud yang baik juga!" jawab Lupus sombong.
Tapi kalau kamu
tau, bagaimana gemetarnya Lupus ketika datang ke markas
berandalan
itu, kamu pasti nggak bisa menahan nya. Untung saja
bagian itu disensor.
"Memangnya mereka kenal kompromi juga?"
"Nah, itulah kesalahan kamu. Kamu terlalu cepat
menuduh orang lain
jelek. Tanpa berusaha membuat pendekatan lebih dahulu.
Saya nggak
percaya ada orang yang begitu jahatnya di dunia ini
sampai tak punya
perasaan sama sekali. Kadang malah dari merekalah kita
menemukan
pribadi yang menarik. Seperti rasa setia kawan yang
begitu hebat.
Sampai-sampai rela mengorbankan kebaha- giaannya sendiri.
Memang
rasa setia kawan mereka kadang tak pada tempatnya. Suka
merugikan
orang lain. Tapi itu nggak selamanya benar. Makanya saya
tertarik
ketika kamu cerira banyak tentang perbuatan-perbuatan
mereka yang
selalu merugi• kan orang lain. Saya ingin membuktikan.
apa itu benar?
Kalau ya, atas dasar apa? Saya pun pergi ke sana.
Mengadakan
pendekatan dengan mereka. Meski memang tak mudah. Saya
sampai
keluar banyak uang untuk membelikan mereka rokok. Korban
perasaan
dan korban lain-lainnya, tetapi saya toh berhasil. Saya
ngaku aja sebagai
orang baru di sini. Saya nggak betah di rumah karena
banyak problem
keluarga. Saya ingin gabung dengan mereka. Dan mereka pun
menerima
dengan terbuka. Pada dasamya, mereka selalu menaruh
simpati pada
orang-orang yang senasib dengan mereka. Mereka bahkan mau
menolong
saya. Nah, hebat, kan? Dari pengalaman semalam, mereka
banyak cerita
tentang dirinya, cara hidupnya, dan juga bagaimana mereka
memandang
masa depan. Ternyata luar biasa, Nto! Kebanyakan mereka ingin
jadi ABR!. Pembela Negara. Hebat, kan? ltulah, mereka tak
seharus- nya
dimusuhi, malah patut dikasihi. Diberi harapan. Ini kan
bagus buat
bahan tulisan .... "
"Bahan tulisan? Maksud kamu, kamu pergi tadi malam
itu untuk bikin
tulisan di majalah kamu?"
"Kok heran? Ini kan baik umuk tulisan yang bersifat
human interest.
Penulisan yang menonjol- kan sifat-sifat kemanusiaan yang
memiliki
banyak dimensi dalam hidupnya, kan menarik? Bisa
menimbulkan rasa
haru, simpati dari mereka- mereka yang dulunya tak pernah
peduli
dengan mereka. Siapa tahu setelah membaca artikel saya,
anak-anak
berandalan itu mau mengubah diri. Dan pandangan umum
tentang mereka
juga dapat berubah, sehingga yang tadinya nggak peduli,
kini mencoba
meraih mereka .... "
Anto terdiam. Lama. Seperti berpikir. Lalu berkara pelan,
"Kadang, saya
iri dengan kamu, Pus. Kamu selalu bisa berbuat seauatu
dari apa-apa
yang terjadi. Saya sering merasa iri. Kamu tau, saya
adalah orang yang
nggak pernah punya inisiatif. Apalagi untuk berbuat
sesuatu bagi orangorang
yang paling saya benci. Saya yang sekian lama tinggal di
lingkungan
mereka, tak pemah punya pikiran seperti kamu. Saya jadi
merasa
sebagai orang yang tak berarti .... "
Kini giliran Lupus yang kaget dan terdiam. Agak lama.
Sampai Anto
mengira dia tertidur.
Tapi akhirnya terdengar suara Lupus, pelan, "Jangan
punya pikiran
begitu, Nto. Tuhan toh menciptakan berbagai orang dengan
sifat yang
berlainan. Saya justru yang ingin seperti kamu. Tanpa
pernah merasa
peduli atau terusik kalau ada kejadian apa pun. Yang bisa
tidur enak,
walau sejuta masalah hadir di benakmu. Sungguh! Saya
ingin seperti
kamu. Yang tak pernah merasa terpanggil, merasa bersalah,
merasa
tergoda kalau ada sesuatu yang terasa ganjil. Yang selalu
menjalani
hidup ini dengan tenang. Sedang saya? Mana bisa saya
rertidur begitu
mudah, saat sejuta masalah hadir di benak saya seperti
ini .... "
Tapi menit berikutnya, Lupus sudah tertidur dengan
nyenyaknya. Pakai
ngorok segala. Semen- tara Anto tetap tak bisa menebak
jalan pikiran
makhluk Tuhan yang aneh ini ....
8. Kantin Sekolah
TAU nggak, di SMA-nya Lupus cuma ada satu kantin.
Terletak di ujung
lapangan dan terlindung di balik pohon-pohon yang
rindang. Tempat yang
sangat strategis untuk ngeceng anak-anak yang berolahraga
di lapangan,
membolos pelajaran, numpang nggosip atau benar-benar mau
makan (asal
jangan nembak!). Hampir semua anak menyukai tempat itu,
kecuali Lupus
dan beberapa teman cowoknya. Dia jauh lebih suka
meloncati pagar
untuk jajan di luaran, daripada pergi ke kantin sekolah.
Banyak hal yang
memaksa Lupus berbuat begitu, meski risikonya kalau
ketauan ke luar
lingkungan sekolah pada saat jam-jam belajar, bisa
disuruh
membersihkan kamar mandi dan WC. Sebuah kerja paksa yang
paling
dibenci semua murid karena dirasakan tanpa kemanusiaan.
(Bayangkan
saja kalau kamu disuruh membersih- kan tempat di mana
orang-orang
justru membuang sesuatu yang paling kotor. Ih!)
Alasan pertama kenapa Lupus tak menyukai kantin rersebut,
karena di
sana sama sekali tidak dijual permen karet. Dan tega
sekali, tuh!
Padahal Lupus punya prinsip, lebih baik makan permen
karet daripada
tidak makan permen karet. Nah, itulah. Suatu ketika,
Lupus pernah
meminta ibu kantin yang janda itu untuk juga menjual
permen karet
barang satu stoples. Tapi usul itu ditolak mentah-mentah.
Katanya bikin
kotor. Karena ampas permen karet tidak dapat ditelan dan
bisa
mengotori dinding.
Alasan kedua, pelayanan di kantin ini sama sekali tidak
efektif.
Terutama untuk makanan- makanan primer seperti mie ayam,
mie bakso,
atau yang lainnya yang perlu dimasak dulu. Kalau mau
pesan mie ayam
sekarang, bisa-bisa besok pagi baru jadi. Kan agak lama
juga tuh. Dan
kita rada kurang sabar nungguinnya. Bagaimana tidak lama
kalau setelah
diselidiki ternyata yang punya kantin baru
mengejar-ngejar ayam
tetangga yang lagi bengong. Itu juga belum tentu dapat.
Kalau misalnya
sudah dapat, baru kemudian disembelih, dicabuti bulunya
satu-satu,
dibersihkan lagi, direbus, dan dipotong kecil-kecil untuk
mie ayam.
Alangkah kasihannya nasib si pembeli!
Pernah waktu pelajaran koseng, Lupus kelaparan. Belum
sarapan. Mau
makan di luaran, situasi kurang memungkinkan, karena tak
bisa mengontrol
kelas yang siapa tau gurunya tiba-tiba datang. Maka Lupus
pun
pesan mie bakso di situ. Sengaja mie bakso, karena dengan
begitu
berarti dia tak usah menunggu yang punya kantin
berkejar-kejar ria
dengan ayam-ayam yang berkeliaran itu. Tapi
ditunggu-tunggu ternyata
lama sekali. Mungkin baksonya baru dibikin. Setengah jam
lebih belum
jadi juga. Sampai guru kimia yang galak, sok disiplin,
konyol namun adil
dalam memperlakukan murid itu nongol di ujung koridor.
Kontan saja
Lupus, masih dengan semangat ‘45, pontang- panting lari
menuju
kelasnya. Soalnya kalau terlambat selangkah saja di
belakang guru kimia
itu, jangan harap diperbolehkan masuk kelas. Itu
peraturan yang dia...
eh, beliau terapkan. Dan konyolnya, begitu melihat Lupus
lari-larian
menuju kelas dari arah yang berlawanan, sang guru itu pun
ikut-ikutan
lari. Maka, terjadilah adu cepat-cepatan masuk kelas.
Syukurlah,
perlomba- an itu dimenangkan oleh Lupus dengan selisih
jarak yang kecil
sekali. Dan dengan senyum kemenangan, Lupus berjalan
masuk kelas. Dia
berhak mengikuti pelajaran kali ini.
Namun ketika pelajaran sedang berlangsung, seorang
pesuruh dari
kantin mengetuk pintu kelas untuk mengantarkan mie bakso
pesanan
Lupus. Kontan saja Lupus kaget dan jadi bahan tertawaan
anak sekelas.
Tapi sekarang ada cerita baru tentang kantin sekolah itu.
Anaknya ibu
kantin yang sekolah di Bandung datang. Dan ikut melayani
di kantin
tersebut. Gila, cakep juga! Dan pelayanannya bisa lebih
cepat lagi. lni
kan jadi menarik perhatian cowok-cowok yang tadinya suka
jajan di luar,
kecuali Lupus. Karena dia masih keki dengan
pendiskriminasian mereka
untuk tidak menjual permen karet.
Bisa ditebak, anak yang paling ribut kalau ada barang
baru yang cakep
adalah si Boim, playboy Duren Tiga. Pagi-pagi sekali,
waktu Lupus baru
memasuki kelas, dia sudah ngocol ke sana kemari. Ribut
sekali, kaya
orang kebakaran janggut.
"Hei, Kucing! Kok dua hari ini nggak masuk?
Gimana..., emak lu baek?"
sapanya begitu melihat Lupus.
"Baek. Emang kenapa? Mau diaduin sama emak lu?"
balas Lupus
seenaknya.
Boim nyengir, lalu tanpa tedeng aling-aling dia langsung
ngoceh tentang
anaknya ibu kantin.
Tapi bukan hanya Boim saja. Semua anak cowok kalau ada
pelajaran
kosong atau waktu istirahat, selalu betah nongkrong di
kantin. Jajan
nggak jajan pokoknya ngumpul. Puas biar cuma memandangi
wajah cantik
anak ibu kantin. Oya, nama itu lndah. Tentu saja
primadona-primadona
SMA Merah Putih ini pada keki berat dapat saingan begitu.
Pasaran
mereka jatuh drastis. Bangsanya Elsa, Ayu, Svida, atau
Ruri (yang
terakhir ini nggak kece, tapi suka sok kece. jadi
daripada nangis, lebih
baik diikut-sertakan. itung-itung amal.) yang biasa suka
ber’ge-er’ ria
kalau lagi digodain, kini ditegur pun jarang. Apa nggak
bikin sebel tuh?
"Huh, baru anak tukang jualan aja direbutin. Dasar
cowok di sini
seleranya rendah semua!" maki Ruri, si biang gosip.
"Bukan selera kita rendah...," balas Irvan
membela kaumnya, "tapi
kalian-kalian sudah terlalu uzur buat digodain. Makanya,
rajin-rajin dong
sembahyang, biar masuk surga .... "
Ruri makin dongkol.
"Tapi anak itu memang benar-benar kece, Pus. Tempel
aja!" promosi
David kepada lupus, di suatu siang nan gersang.
"Dikata salonpas apa? Maen tempel aja!" balas
Lupus spontan.
"lya, Cing, kamu kok nggak pernah ikutan nongkrong
di kantin, sih? Bego.
Saya lagi naksir berat nih sama dia. Gimana ya caranya
sampai dia tau
kalau saya naksir? Ayo dong, Pus, kamu kan suka banyak
ide!" Lagi-lagi
Boim ngegombal. Lupus ogah-ogahan mendengar celoteh Boim.
Dia malah
lagi mikir, gimana bisa tidur enak di kelas tanpa
diganggu cecurut
macam Boim begini.
"Say it with flowers!" jawab Lupus sekenanya.
Tapi reaksi Boim benarbenar
luar biasa. Ide yang cemerlang, teriaknya. Keesokan
harinya, pagipagi
sekali, dia sudah membawa seikat bunga buat anak ibu
kantin itu.
Dan bisa ditebak, cintanya ditolak!
***
Tapi belum sampai tiga hari sejak kedatangan Indah,
kantin sekolah
tiba-tiba ditutup. Begitu mendadak. Perintah pemboikotan
kantin itu
datang langsung dari Kep-Sek. Sang Kep-Sek ini shock
berat ketika
mendengar bahwa di kantin sekolah dijual juga minuman
keras (bukan
es, lho, tapi yang mengandung alkohol) dalam kemasan
plastik. SMA
Merah Putih, yang selama ini menjadi SMA teladan karena
nama
baiknya, yang para siswanya tak pernah terlibat
perkelahian meski
bersebelahan dengan sekolah lain (tentu saja, wong
sekolah ini
bersebelahan dengan SD inpres. Mana bisa diajak perang?),
dan juga
prestasi siswa-siswinya yang sering memenangkan cepat-
tepat di TV
(ini juga, setelah diselidiki ternyata mereka ikutan
Cepat Tepat-Tingkat
SLTP, tentu saja menang!), dan kebanyakan siswanya bisa
masuk
perguruan tinggi negeri tanpa ikut sipenmaru, tentu saja
tak mau
tercemar dengan berita mengejutkan macam itu.
Lupus tadinya tidak begitu ambil pusing, karena dia toh
jarang jajan di
kantin itu. Pengalaman buruk masa lampau cukup membuatnya
kapok.
Tetapi ketika suatu siang, sepulang sekolah dia ketemu
lndah di dekat
terminal Grogol, dia jadi ingin tahu. Soalnya lndah itu
malah jualan
makanan kecil buat para kondektur. Indah berusaha
menghindar ketika
tau Lupus itu siswa SMA Merah Putih. Tapi Lupus
memergokinya.
"Kamu lndah, kan? Kok jualan beginian? lbu kantin
sekarang di mana?"
Indah cuma diam beberapa saat. Tapi kemudian dia cerita
banyak.
Tentang bagaimana hidup dia tanpa usaha kantin di sekolah
Lupus.
"ltu penghasilan kami satu-satunya. Dengan begitu,
setelah kejadian ini
saya tak bisa melanjutkan sekolah lagi di Bandung.
Terpaksa bantubantu
ibu jualan makanan kecil .... " sahut Indah sedih.
"Tapi, kenapa kalian sampai bisa terlibat kasus
penjualan minuman keras
itu? Kekurangan duit, ya?"
"Kami memang cereboh. Kami mau saja menerima titipan
dagangan dari
orang luar. Kami benar-benar tak tau kalau bungkusan
plastik itu
minuman keras. Bagaimana kami bisa curiga kalau yang
menitipkan
dagangan itu siswi SMA itu sendiri?"
"Siswi SMA Merah Putih? Siapa? Kok kamu tidak lapor
saja?"
"Lapor? Mana mau mereka mendengar suara kami, kaum
lemah? Mereka
begitu mudahnya mengusir kami tanpa memberi kesempatan
untuk
membela diri!"
"Jangan berprasangka buruk. Mungkin sang Kep-Sek
lagi panik. Soalnya
terus terang. ini pukulan pertama bagi beliau. Apalagi
dia itu jantungan!
Ngomong-ngomong, siapa yang meni- tipkan minuman keras
itu?"
"Ruri."
"Ruri?" Lupus tiba-tiba bisa menangkap latar
belakang semua ini.
Dan sore harinya, Lupus sudah berada di rumah Ruri.
"Kamu jangan nuduh sembarangan dong! Kalau memang
naksir anak
tukang jualan itu bilang aja. Nggak usah berlagak sok
pahlawan!" jawab
Ruri ketus.
"Naksir dia? Oh, kamu salah, Ruri. Saya lebih baik
memilihmu daripada
dia. Tapi masalahnya, kau telah merampas mata pencarian
utama
mereka, sehingga lndah tak bisa melanjutkan sekolah. lni
soal
perikemanusiaan, bukan soal naksir-naksiran. Bayangin aja
kalau hal itu
terjadi pada diri kamu. Ayahmu di-PHK dengan mendadak,
dan kamu
terpaksa harus berhenti sekolah. Harus jualan serabi di
terminal, hanya
untuk bisa bertahan hidup. Ginmna, coba? Indah kan sudah
tak punya
ayah lagi...," celoteh Lupus tenang.
Ruri memang suka iri, sirik, usil, biang gosip, dan
sederetan predikat
jelek lainnya. Tapi dia toh tetap seorang wanita. Yang
mempunyai
perasaan. ltulah sela yang diserang oleh Lupus.
"Yang perlu kamu lakukan hanya lapor ke Kep-Sek.
Bilang, mereka tak
bersalah dan akui kesalahanmu. Saya tau, ini bukan
kehendak kamu.
Pasti ada pihak lain yang mempergunakan kesempatan
ini." Ruri
termangu. "Iya, Pus. Meski saya iri pada kecantikan
Indah, tapi saya
nggak akan sejahat itu. Minuman keras plastik itu
diberikan oleh Tante
Mari. Yang rumahnya dekat sekolah. Dia sengaja ingin
menjatuhkan citra
ibu kantin, karena saya tau Tante Mari ingin sekali
menguasai kantin
sekolah kita. Tak jarang dia mengejek masakan dan makanan
yang
disediakan oleh ibu kantin. Saya tak bisa mengerti, dia
kan sudah punya
banyak toko makanan di pasar-pasar, dan hidup serba
kecukup- an. Kok
ya masih mau merampas jatah orang!" sahut Ruri tanpa
ekspresi.
"Saya percaya, ini memang bukan keinginanmu. Dan
kamu masih bisa
menebus dosa. Laporkan hal ini kepada Kep-Sek besok pagi.
Dan kamu
akan jadi pahlawan. Kamu telah menolong nasib orang lain
yang
menderita. Ayolah, Rur. Kalau Bob Geldof yang doyan
kumpul kebo itu
saja bisa menjadi malaikat penolong, kenapa kamu tidak?
Biar beginibegini,
kamu toh nggak doyan kumpul kebo. Iya, kan? Nah,
makanya..."
Ruri cemberut.
***
Pagi hari udara cerah. Lupus berjalan me- nyeberangi
lapangan sekolah
sambil menenteng tasnya di pundak. Dua hari sudah Lupus
terpaksa
bolos. Gara-gara disuruh meliput berita oleh majalahnya.
Kini dia
melewati kantin sekolah. Tersenyum lebar ketika melihat
kantin itu
kembali dibuka. Secara iseng, dia melongokkan kepalanya
ke dalam
kantin. Dan terkesima ketika melihat satu stoples penuh
berisi permen
karet terpampang rapi di meja tempat jualan.
"Eh, Nak Lupus. Kok baru kelihatan? Kemarin lndah
mencarimu. Tapi
nggak ketemu. Sekarang dia sudah kembali ke
Bandung," sapa ramah ibu
kantin mengejutkannya, "Mari masuk. Sudah sarapan?
Mau dibikinkan
mie bakso?"
"Eh, enggak deh. Terima kasih, Bu. Saya cuma mau
beli permen karet
itu!"
"Ooo..., iya. Itu memang disediakan khusus untukmu.
lndah yang
memesankan. Oya, dia juga titip surat ini."
Dan pada saat itu Poppi masuk. Tersenyum sebentar pada
ibu kantin dan
langsung menarik Lupus ke luar.
"Hm, bagus ya! Ternyata kamu juga ikut-ikutan
anak-anak ngejar si
Indah. Ayo, mana suratnya. Biar saya yang baca!"
Lupus cuma melongo, tanpa bisa berbuat apa-apa.
9. Kolak Pisang buat Lupus
BULAN puasa adalah bulan suci. Bulan yang penuh berkah
Tuhan. Tapi
tak bisa dipungkiri, bahwa pada bulan-bulan seperti ini,
kelesuan hampir
menjalari wajah-wajah siswa SMA Merah Putih. Di mana
kegiatan
sekolah tetap dilaksanakan seperti biasa. Bisa
dibayangkan, betapa
sulitnya mereka mencoba berkonsentrasi pada pelajaran
yang
diterangkan, sementara perut masing-masing mereka asyik
ber-
‘keroncong-ria’.
Tapi kata Wak Haji, kalau puasa itu nggak boleh dipikirin
laparnya.
Dosa, dan bisa dituduh nggak rela puasa sama Tuhan. Dan
berpuasa
bukan cuma nahan lapar dan haus. Tapi juga nafsu lainnya,
termasuk
ngomongin orang lain. Nah, ini yang kayaknya berat buat
mereka.
Bayangin aja, sebulan penuh nggak boleh nggosip di
sekolah. Wu, mana
tahan? Dan bagaimana dengan nasib Ruri yang biang gosip
itu? Makanya
di saat keluar main, kerjaan anak-anak cuma
luntang-lantung, bengong,
atau paling banter masuk perpustakaan, terus tidur. Tak
ada yang
nampak becanda. Boro-boro becanda, ketawa aja males.
Habisnya
banyak larangan yang bisa membatalkan puasa. Cowok
dilarang ngeceng.
Cewek juga. Dilarang pacaran, dilarang ngetawain orang,
dilarang baca
buku yang ’serem-serem’. Pokoknya semuanya yang
membangkitkan hawa
nafsu. Mau main basket atau voli, segen. Takut haus.
Tapi itu tetap peraturan. Buktinya di pojokan perpustakaan,
Ruri masih
menyempatkan diri untuk nggosip sama teman-temannya.
Lupus yang lagi
nyari buku dekat-deka: situ, bisa memergoki. "Hayo,
mulai ya nggosip
lagi!"
Ruri kaget, tapi dengan cepat menjawab, "Enak aja
nuduh. Kita kan cuma
menceritakan sesuatu yang kurang sreg di hati. Daripada
dipendam
terus, malah bikin lapar"
"Apa bedanya? Kamu kira dengan kamu menemukan
definisi yang baru
macam itu, akan mengurangi dosa? Tunda aja nggosipnya
sampai beduk
magrib. Nanti begitu buka puasa, nah, buru-buru deh.
telepon temanreman
terdekat kamu. Kali-kali aja Tuhan bisa memaklumi!"
nasihat
Lupus.
Ruri mendengus, lalu pindah ke bangku lain. Dan mulai
nggosip lagi.
Dan Lupus meneruskan mencari buku. Di dekat jendela. dia
memergoki
Sri Sajita, cewek keraton yang akrab dengan panggilan
Ita, lagi
ngelamun sendirian (tentu dong, kalau ngelamun berdua
mana enak?).
"Hayo, ngelamun yang jorok-jorok, ya? Batal
Iho!" goda Lupus, Ita
terkejut.
"Ih, bikin kaget aja! Siapa yang ngelamun
jorok?"
"Kalau gitu, pasti ngelamunin doi yang dijawa, ya?
Aduh, Ita, saya kan
udah bilang, kalau kamu kesepian ditinggal merantau sama
cowok kamu,
buka cabang aja di sini. Buat iseng, supaya nggak
ngelamun terus. Nggak
dosa, kok. Dan bannyak yang mau. Seperti saya. misalnya
.... "
Ita cuma mencibir.
Tapi bulan puasa tidak selalu diisi dengan kemuraman.
Bisa tambah
Iapar. Kadang anak-anak juga ngumpul di depan kelas
masing-masing.
Bikin cerita lucu atau teka-teki yang aneh-aneh. Sampai
beberapa hari,
teka-teki itu mulai nggak sehat. Mulai dicari-cari. Tapi
malah semakin
lucu. Seperti teka-teki yang diberikan oleh Lupus:
"Benda apa yang
kalau siang ada di dapur, tapi kalau malam ada di
pohon?" Semua pada
mikir. Dan mulai berspekulasi umuk menjawab dengan
sembarang- an.
Sampai besoknya, Lupus baru memberikan jawaban.
"jawabnya adalah panci!"
Tentu saja semua anak pada protes. Bagaimana mungkin
panci bisa
berada di pohon di waktu malam?
"Lho, itu kan panci saya ini. Terserah dong saya mau
taruh di mana
aja...," elak Lupus yang langsung dimaki-maki
penonton.
Dan canda-canda itu berlangsung sampai mereka tak sadar
kalau hari
mulai senja. ***
Meski sebenamya tak ada masalah, anak-anak sempat protes
juga,
karena sekolah belum libur meski sudah mendekati ulangan
umum.
Waktu istirahat untuk minggu tenangnya cuma dikasih dua
hari. Sabtu
dan Minggu.
"Itu sih cuma cukup untuk ngeraut pensil!" maki
Rosfita. teman Lupus
yang punya prinsip: jangan pernah mengecewakan orang yang
nawarin
makan.
Tapi Lupus lebih suka sekolah. Kalau diam di rumah, waktu
bisa terasa
berjalan lebih lama. Enakan cari kesibukan di luaran. Dan
saat itu dia
sedang berada di metro mini juruan Blok M. Sekadar mau
jalan-jalan aja
untuk killing time. Buang-buang waktu. Sebab, jarang lho
orang di bulan
puasa punya prinsip time is money. Mereka condong
berprinsip time is
time, faster is better. Dan Lupus setengah mati menahan
diri untuk
tidak memandangi cewek-cewek kece di pinggir jalan. Sok
cuwek. Tapi,
apa iya lihat cewek cakep bisa ngebatalin puasa? Padahal
cewek cakep
itu kan karunia Tuhan yang menyenangkan untuk dilihat.
Masa iya kita
harus pake kaca mata kuda? Apalagi menyia-nyiakan karunia
Tuhan kan
dosa, lho!
Terserahlah. Yang penting. Lupus jelas tak bisa menahan
diri lagi ketika
seorang eewek naik dan duduk tepat berhadap-hadapan
dengannya. Gile,
wajahnya benar-benar jet-set, kulitnya kuning langsat,
rambutnya hitam
panjang terurai, bibir- nya dipolesi lipstik merah muda
yang tipis.
Benar-benar mubazir untuk tidak dilihat. Dan...
sempurnalah godaan itu.
Saat-saat pertama Lupus masih bisa menahan diri untuk
tidak terusterusan
memandang. Cewek itu terlalu keren untuk ditaksir. Nggak
bakalan ditanggapi. Dia mencoba mengalihkan perhatian-
nya ke luar
jendela. Tapi ternyata gadis itu mencuri-curi pandang ke
arah Lupus.
Lupus masih mencoba untuk tetap cuwek. Dia harus tabah,
jangan
tergoda. Untuk menghilangkan keresahan- nya, dia mencoba
melamun.
Dan tiba-tiba aja jadi ingat Mas Wedha, yang suka
nggambar di majalah
Hai. Dia itu, katanya sendiri. orang yang sangat tabah.
Tahan godaan.
"Bagaimana nggak tabah." sahutnya suatu ketika,
"walaupun bapak saya
haji, tetangga dan lingkungan saya orangnya pada
alim-alim, rajin
sembahyang, rajin puasa, rajin tarawih, rajin mengaji,
tapi saya tetap
tak tergoda untuk ikutan puasa."
Lupus cuma ngakak. Dan kemarin, ketika Lupus ketemu dia
lagi, Lupus
iseng menegur, "Gimana, Mas, masih tetap
tabah?"
"Alhamdulillah masih...," jawabnya kalem.
"Tuhan tau bahwa saya nggak
bakalan kuat berpuasa. Jadi buat apa membohongi diri?
Kalau saya
puasa nantinya Tuhan malah marah. Menyangka saya orang
yang
sombong... sok ikut-ikutan .... "
Lupus sering tak bisa menahan senyum kalau ingat hal ini.
Seperti
sekarang, secara nggak sadar, dia tersenyum-senyum
sendirian di metro
mini. Di depan cewek cakep tadi. Dan, oh God, cewek itu
membalas
senyum nyasar dari Lupus. Gimana nggak ge-er?
"Halo." sapa Lupus berani. "Mau ke
mana?"
Gadis itu tersenyum lagi. Senyum yang penuh godaan.
"Ke Blok M, nih.
Mau shopping. Anterin, yuk?"
Lupus agak kaget. Agresif banget cewek ini. Dan tanpa
menunggu ajakan
kedua, beberapa saat kemudian, Lupus telah berjalan
keliling-keliling
blok M berdua cewek tadi. Dari situ dia tau, namanya
Evan. Banyak
sekali yang dibelinya. Seluruh pasar Blok M dikelilingi.
Dan Lupus jadi
agak risi ketika Evan dengan seenaknya menggan- deng
tangan Lupus.
Gimana kalau ceweknya tau?
Jam tiga siang, mereka berhenti di depan A-ha (maksudnya
American
Hamburger, bukan grup bandnya si Morten). Evan mengajak
masuk.
Lupus jelas menolak, meski dia merasa sangat lapar dan
haus.
"Ayo deh, saya yang traktir, kok...," rayu
Evan.
"Bukan masalah itu. Saya kan puasa!"
"Batal sehari kan nggak apa-apa.
Ayo deh, kan capek lho udah keliling-keliling. Dikiiit
aja. Yuk?" "Kamu
ajah deh, saya nggak."
"Ya..., kok gitu. Nggak seru, ah. Tadi kita kan udah
bareng. Ayo dong,
Anak manis!"
Dan jebollah pertahanan Lupus. Akhirnya dengan langkah
sedikit ragu,
dibarengi celingak- celinguk kanan-kiri, takut kepergok
orang rumah,
Lupus masuk ke A-ha. Langsung dipesankan steak,
strawberry milkshake
dan sprite dingin.
***
Hari mulai senja ketika Lupus melangkah masuk ke
rumahnya. Saat itu
ibunya masih sibuk kerja di dapur. Memasuk-masukkan
makanan ke
rantang. Sepeninggal ayah Lupus, ibunya memang buka usaha
katering.
Lumayan, buat menyambung hidup, komentarnya. Dan hasilnya
memang
luar biasa. lbu Lupus termasuk wanita yang ulet, yang tak
menyerah
kepada takdir. Seperti sekarang ini, dia masih tetap
bekerja meski
puasa. Berbeda dengan Lulu, adik Lupus. Kerjanya kalo
puasa tidur
melulu. "Itu lebih baik daripada nggosip!"
belanya suatu ketika.
Lupus masuk ke ruang tengah dengan perlahan. Tapi ibunya
melihat.
"Eh, Lupus. Baru pulang? Itu lbu bikinkan kolak
pisang kesukaan kamu
buat buka puasa. Cepat mandi, sebentar lagi beduk,
lho-!"
Lupus tercekat. lbunya yang sibuk itu masih sempat
membikinkan
makanan kesukaannya. Betapa ingin dia membahagiakan
anak-anaknya.
Sedang Lupus?
"Lho, kok malah bengong? Lapar, ya? Tahan aja
sedikit. sebentar lagi
buka. kok. Cepat mandi biar segar .... "
Tanpa berkata apa-apa. Lupus langsung nge- loyor ke kamar
mandi. Dan
sempat ketemu Lulu di depan kamar. "Eh, Lupus, udah
pulang. Itu ada
oleh-oleh buat kamu. Sekotak permen karen. Tadi ogut
iseng beli waktu
nganterin lbu ke pasar. Hayo, kamu masih puasa
nggak?"
Lupus makin terpojok. Di kamar mandi, dia ingin teriak
keras-keras.
Meneriakkan ganjelan hatinya. Dia memang ngaku masih
puasa sampai
kini. Dia tak ingin mengecewakan semuanya. Tapi, siapa
sangka kalau
membohongi diri sendiri itu lebih menderita daripada
ngebohongin orang
lain
***
Beduk magrib berdentum di kejauhan. Diiringi oleh
teriakan azan. Saat
itu Lupus malah berlari ke telepon umum di depan
rumahnya.
"Halo? Bisa bicara dengan Evan?" "Ya, ini
Evan .... "
"SEJUTA TOPAN BADAI BUAT KAMU!!!"
10. Tante Neli
"Beli kolor ni yee .... "
Sapaan serempak dari arah belakang mengagetkan Lupus yang
lagi asyik
mengaduk-aduk bak obralan di toko pakaian. Dengan spontan
dia
melepas ’barang antik’ yang tadi dia pegang, lalu
membalik ke arah
sumber suara tadi. Di situ berdiri Ita, Meta, dan Utari.
Dengan senyum
yang mengembang. Lupus malu berat. Padahal tadi dia sudah
begitu
berhati-hati. Lirik kanan-kiri untuk menyakinkan bahwa
tak ada orang
yang dikenal- nya di sekitar situ. Dia ingin sekali
membeli beberapa
celana dalam baru untuk mengganti dia punya yang sudah
pada melarmelar
karetnya. Tapi, kok ya kepergok teman juga. Cewek lagi!
Tiga
cewek ‘mini’ ini memang ke mana-mana selalu bertiga.
Makanya sering
dijuluki ‘trio the kids’. meski mereka sama sekali nggak
setuju dengan
julukan itu. Hobi mereka gila-gilaan: keliling- keliling
pasaraya cuma
untuk mergokin orang- orang yang belanja. Syukur-syukur
bisa minta
traktir. Lupus suka heran, apa mereka nggak takut dikira
anak hilang
nantinya?
"Apa khabar, Pus? Abis lebaran kemaren kok nggak
nongol-nongol lagi?
Makin langsing aja. Oya, poni kamu juga masih tetap
gondrong tuh.
Ceritanya mau nyaingin john Taylor, ya? Moga-moga aja
mata kamu
nggak kelilipan tiap menit. Moga-moga cuma sedikit
juling. hehehe...
nggak apa-apa kok juling dikit. Buktinya si Vina
Panduwinata, biar bola
matanya suka rada juling, tetap aja kece. Iya,
nggak?" cerocos Meta.
Lupus cuma mengangguk. Nurut aja.
"Terusin aja milihnya, kok jadi diem? Buat lebaran,
ya?"
"Enak aja! Lebaran kan udah lewat!"
"lya. Lebaran taun depan... hahaha .... "
Dan tiga cewek itu pergi lagi. Cari mangsa baru. Lupus
sudah nggak
semangat lagi mau milih-milih. Dia langsung ke tempat
bakery. Beli
beberapa roti pesanan ibunya untuk menyambut tamu agung
di
rumahnya.
***
Sore hari, tamu agung yang ditunggu-tunggu datang. Ibu
Lupus dan Lulu
menyambut dengan hangat. Lupus yang baru bangun tidur,
ogah- ogahan
ikut ke depan.
"Here comes the grump," komentarnya yang
langsung di-‘hush’ oleh
ibunya. Dan tamu agung itu tak lain adalah Tante Neli.
Kakak tertua ibu
Lupus yang luar biasa cerewetnya. Turut serta dalam
rombongan, kakak
nomor dua ibu Lupus dan Ridwan, anak Tante Neli. Mereka
semua datang
dalam rangka akan menghadiri upacara pernikahan anaknya
Tante Mia.
Lupus sebetulnya kurang suka rame-rame begitu. Apalagi
kalau sampai
terpaksa tidurnya digusur ke ruang tengah, karena
kamarnya dipakai.
(Maklumlah, kamar di rumah Lupus tak banyak). Wah, sedih
sekali.
Nyamuk di situ Iuar biasa ganasnya. Lupus yang memang
kurang begitu
hobi tidur dikerumuni nyamuk (lagi, apa iya ada yang suka
begitu? Kahu
dikerumuni cewek sih boleh aja!), jelas jadi merasa
tersiksa.
"Lupus, ini lho ada Ridwan!" sahut ibunya
ketika Lupus malah buru-buru
balik takut kamarnya di-booking. Lupus juga kurang suka
pada makhluk
kesayangan Tante Neli ini. Si Ridwan. Dia suka cari muka
dan
meremehkan orang lain. Kalau bukan saudara, pasti sudah
diajak
musuhan oleh Lupus dari dulu-dulu.
"Hei, apa kabar Lupus!" sapanya dengan gaya
yang dibuat-buat.
Lupus cuma nyengir. Lalu membiarkan makh- luk itu
bercerita panjang
lebar sama Lulu. Biasa, cowok memang begitu. Dan bersikap
sok jentel di
depan Lulu dan tante-tante yang lain. Bolak-balik membawa
keranjang
yang berat-berat. Nggak kaya Lupus yang malah sibuk
bongkar-bongkar
oleh-oleh. Kali-kali aja ada permen karet.
***
Besoknya Lupus pulang ketika hari sudah senja. Letih,
karena sepulang
sekolah langsung me- nyelesaikan laporan di kantor
majalahnya, dia
terus menuju kamar tidur. Untung makhluk yang bernama
Ridwan itu
sudah pulang sejak pagi tadi. "Belum liburan,"
katanya. Syukurlah.
Setelah mengganti baju sekolahnya. Lupus Iangsung
melompat ke
tempar tidur. Wah, betapa nikmat- nya! Pusing-pusing
sedikit yang tadi
merongrong di jalan, berangsur-angsur hilang bersama
terbang- nya dia
ke alam mimpi.
Namun, belum lagi tertidur pulas, dia mendengar suara
beduk bertalutalu.
Serasa jauuuh sekali. Lupus setengah sadar setengah
tidak,
menajamkan pendengarannya. Apa iya sudah magrib? Kok
cepat sekali?
lni bukan bulan puasa, tapi yang namanya tidur di waktu
magrib tetap
saja bisa dianggap kualat. Setidaknya, ini kata Wak Haji.
Tapi, eh, kok
beduknya rada lain bunyinya? Dan rasanya terdengar
semakin dekat dan
dekat sekali. Lupus terjaga. Ealah, ternyata bukan beduk.
Tapi ada
orang menggedor-gedor pintu kamarnya. Oh, God! Siapa
makhluk yang
tak berperikemanusiaan itu? Keluh Lupus yang dengan malas
langsung
membuka pintunya sedikit. Seperti juga matanya yang
terasa berat
unruk dibuka.
Di situ tersembul wajah Tante Neli yang tertekuk.
"Kamu ini bagaimana
sih? Datang- datang langsung tidur. Tak punya kesadaran
sama sekali!
Lihat ibumu yang sibuk ngurus pesanan masakan para
langganan di dapur.
Bantu-bantu sedikit, kek! Bungkusin kerupuk atau apa
gitu!" semprotnya
nggak tanggung-tanggung.
"No way!" sahut Lupus pendek dan langsung
mengunci kamarnya. Sesaat
kemudian dia sudah asyik tiduran lagi, sambil menutup
kepalanya eraterat
dengan bantal. Di luar Tante Neli masih marah-marah dan
menggedor-gedor. Tapi Lupus tak peduli.
Tante Neli, begitu tepat nama itu untuknya. Dia memang persis
neneknenek
cerewet yang kelin- cahan. Lupus bukannya tak mau bantu
ibunya,
tapi dia memang benar-benar letih. Ibunya iuga maklum.
Dan lagi,
bukankah ibunya sudah mempunyai empat orang pembantu yang
siap
menolong setiap saat? Ditambah Tante Neli dan tante-tante
lainnya
yang bisa digunakan tenaga- nya, daripada nggosip nggak
keruan. jadi,
dasar aja Tante Neli yang nggak bisa lihat orang senang!
Begitu
kesimpulan yang diambil Lupus. Dan dia pun bisa
melanjutkan tidumya
dengan tenang. Tanpa merasa berdosa.
Tapi kesimpulan itu memang tak terlalu salah. Seperti
keesokan sorenya
ketika Lupus lagi asyik main ayunan yang diikatkan pada
pohon jambu
bersama Lulu. Lupus mendorong kuat-kuat, sehingga ayunan
itu terayun
gila-gilaan, membuat Lulu menjerit ketakutan. Di tengah
keasyikan itu,
Tante Neli tiba-tiba muncul dengan jeritan histerisnya,
"Hei, hentikan!
Hentikan! Lihat daun-daun jambunya pada berjatuhan. Ayo,
bersihkan!
Kalian ini bagaimana, sih? Sudah pada gede-gede juga
masih kayak anak
kecil tingkahnya. Kalian pikir tidak berbahaya main
ayun-ayunan
Kencang-kencang begitu? Nggak punya otak! Kamu juga,
Lupus, kamu kan
anak laki-laki tertua. Satu-satunya lagi. Kamu seharusnya
bisa menggantikan
kedudukan ayahmu almarhum. Bersikap- lah dewasa sedikit,
tidak seperti anak kecil begitu. Boro-boro deh mau
bantuin ibu kamu
kerja .... "
Begitulah usilnya Tante Neli. Bahkan hiburan Satu-satunya
yang mereka
miliki juga dilarang. Terpaksa sore itu Lupus dan Lulu
kena setrap untuk
menyapu seluruh halaman belakang rumah yang cukup luas
itu. Ayamayam
yang berkeliaran di situ, sengaja mondar-mandir terus
dekat
Lupus. Seolah mau meledek. Soalnya mereka tadi agak
terganggu ketika
lagi asyik-asyik tidur di atas pohon jambu, tiba-tiba
pohonnya
bergoyang- goyang ikut terayun. Dengan keki, Lupus
menyambit ayamayam
sialan itu dengan sapu lidi.
"Lupus, kalau kerja yang betul. ya!" lagi-lagi
terdengar teriakan Tante
Neli.
Dan begitulah. selama ada Tante Neli, hidup di rumah
serba nggak
bebas. Dia sok ngatur sana-sini. Sampai ibu Lupus juga
suka diatur-atur.
Bangun harus jam berapa, jangan kemalaman nonton tivi, de
el el. lbu
Lupus cuma senyum- senyum aja ketika Lulu mengadukan
semua
kejengkelannya.
"Tantemu itu bermaksud baik. Dia memang orang yang
teliti dan sangat
disiplin."
Tapi Tante Neli orangnya memang suka panikan juga. Suka
ribut-ribut
sendiri. Pernah pulang sekolah, Lupus dengan
terengah-engah lari-lari
masuk ke rumah. langsung ngoceh, "Gila, Iho, tadi di
pasar ada yang
dikeroyokin orang. Sampai berdarah-darah. Kasihan sekali.
Hampir
orang sepasar ikut mengeroyoki!"
Tante Neli langsung berdiri panik. "Siapa?Siapa
orangnya? Kasihan
betul! Tega, benar-benar nggak berperikemanusiaan
orang-orang zaman
sekarang ini. Terus bagaimana nasib orang itu? Masih
hidup? Siapa,
Lupus? Pelajar? Atau pencuri?"
"Bukan. Tikus.... " sahut lupus tenang dan
langsung masuk kamar.
***
Lupus juga paling kesal kalau tante itu mulai
membicarakan dirinya saat
saudara-saudara yang lain pada kumpul di rumah Lupus. Dia
suka
membanding-bandingkan Lupus dengan Ridwan.
"Saya tak bisa mengerti anak itu. Kalau
Saudara-saudaranya lagi pada
kumpul-kumpul begini, dia pasti tak mau keluar. Kerjanya
men- dekam di
kamar terus. Tak ada sedikit pun rasa hormat atau
perhatian pada kita,
para sesepuh. Padahal kalau ada apa-apa, kita juga yang
nolong. Kalau
diajak bicara, suka sembarangan menjawab sampai terus
mengunyah
permen. Betapa tidak sopannya. Tamu dari jauh seperti
saya ini, tidak
pernah disambutnya dengan hangat. Atau ketika Tante Mia
diopname,
dia sama sekali tak menjenguk!"
Lupus jadi kena tegur ibunya. Ya. dia memang lebih
menyambut hangat
oleh-oleh yang dibawa daripada orangnya, kalau kedatangan
tamu dari
jauh.
"Abis percuma, Bu. Kalau saya ada atau tidak, kan
tak ada pengaruhnya
buat beliau-beliau. Seperti juga menjenguk Tante Mia, apa
lantas
setelah saya jenguk dia lantas langsung sembuh?
jangan-jangan malah
bertambah parah...." jawab Lupus membela diri.
"Sebab, apa sih arti
seorang Lupus buat mereka?"
"Tapi kamu nggak boleh begitu, dong!"
Lupus memang tak suka basa-basi. Sama ketika ibu Lupus
akhirnya jadi
ikut ke Bandung, ke rumah Tante Neli untuk melihat
rumahnya yang
baru, serelah acara perkawinan selesai.
"Boro-boro mau mengantar sampai ke Ban- dung.
Bantuin mengangkat
kopor ibunya sendiri saja tak mau. Benar-benar anak tak
tau diri. Tak
tau berterima kasih kepada orang tua. Lain sekali dengan
Ridwan. Biar
mau ujian, dia pasti mengantar kalau saya mau ke
Jakarta," kata Tante
Neli ketus. Lupus jadi merah mukanya dan pergi dari situ.
Dia paling tak
suka kalau sudah dibanding-bandingkan dengan orang lain.
Bukan- nya
Lupus tak mau mengangkat kopor, tapi bawaan ibunya kan
cuma sebuah
tas kecil yang bisa dibawa dengan mudah, jadi buat apa
berbasa-basi
membawakannya? Dan lagi, kenapa harus diban- drngkan
dengan Ridwan
yang tak disukainya itu?
***
Sepeninggalan Tante Neli, keadaan rumah jadi sepi. Lupus
jadi sering
mikir, benarkah ia tak mempunyai rasa hormat seperri yang
dikatakan
Tame Neli? lbu Lupus memang tipe ibu yang tak banyak
omong. Dia
selalu mengerjakan apa- apanya sendiri tanpa banyak
tuntutan. Tuntutan
kepada anak-anaknya agar mau membantu atau mau dihormati.
Dia tak
pemah mengganggu kalau Lupus lagi tertidur nyenyak di
kursi panjang
saat mendengarkan kaset. Dia rela menunggui Lupus yang
belum pulang
sampai tengah malam. Dia tipe Ibu yang mengabdi, seperti
ibu-ibu
lainnya. Tanpa pernah menuntut imbalan.
Tapi apakah selama ini sikap itu membuat Lupus jadi tak
hormat
padanya?jadi seperti dimanjakan- nya? Apakah ibunya
terkadang iri
dengan Ridwan yang penuh perhatian pada Tante Neli itu?
Yang pandai
membawa diri kala berkumpul dengan keluarga lain? Yang
selalu menjadi
kebanggaan, karena suka menganrar ke mana ibunya pergi.
meski ada
ujian? Yang suka memijiti kaki ayahnya kala pulang
kanror?
Lupus jadi melamun terus. Dia memang melihat pancaran
duka yang
terbersit sedikirt dari mata ibunya, ketika Tante Neli
menyindir Lupus.
Dan Tante Neli seakan hendak menunjukkan, bagaimana
mendidik anak
yang baik, seperti caranya itu. Penuh disiplin!
***
Lupus lagi asyik tiduran, ketika Lulu mengge- dor-gedor
pintu sambil
berteriak, "Bangun. Pus, Ibu pulang tuh! lbu
pulangl" Tanpa pikir panjang
lagi, Lupus Iangsung melompat dan berlari ke luar kamar.
Menyusul Lulu
yang sudah duluan menyambut.
"Kok lama, Bu, di Bandungnya? Kirain nggak inget
pulang," kata Lulu.
Ibunya cuma tersenyum sambil memerintah sopir taksi umuk
menurunkan barang-barang bawaannya dari bagasi.
"Gimana keadaan rumah, Pus? Baik-baik saja?"
"Tentu dong, Bu. Semuanya lancar. Kok lama di
sananya? Betah, ya?"
lbunya terdiam sebentar. Lalu memandang Lupus dan Lulu
bergantian.
"Sebetulnya Ibu mau pulang lebih awaI. Nggak tega
ninggalin pekerjaan
yang menumpuk di rumah. Tapi..."
"Lho, ada apa sih, Bu...?"
"ltu lho, anaknya Tante Neli, si Ridwan, dia
terlibat beberapa kasus yang
harus berurusan dengan polisi .... "
"Ridwan? Memangnya dia kenapa?"
"Rupanya sepeninggal Tante Neli ke jakarta, dia
berbuat sesuatu yang
kurang baik. Mengajak teman-temannya menginap di rumah
yang baru.
Pakai bawa-bawa perempuan segala. Dan ketika digebrak
polisi, ternyata
di sana juga terdapat beberapa obat terlarang. Saat itu
ayahnya kan
lagi tugas di Semarang, jadi lbu terpaksa tinggal
beberapa hari
menemani Tante Neli mengurusi perkara itu."
Lulu dan Lupus terdiam. Mereka saling berpandangan.
Suasana menjadi
hening.
"Itulah. Bu." sahut Lulu setelah beberapa saat.
"Pada akhirnya fakta
juga yang berbicara. Kita meski bandel-bandel, tetapi
masih dalam
batas kewajaran .... "
"Ya, ya. Ibu akui bahwa pada akhimya, Ibu lebih
bangga pada kalian,"
sahutnya sambil menggandeng kedua anaknya masuk rumah.
"Eh, Lupus. Kamu tidak membawa masuk Barang-baraang
itu?" kata
ibunya tiba-tiba, setelah berada di dalam.
"O iya, lupa. Sori deh...," sahut Lupus
cengar-cengir sambil buru-buru
lari ke luar lagi. Ibunya cuma geleng-geleng kepala.
"Kadang Ibu pikir Lulu benar juga. Ibu akan lebih
kebingungan kalau
kehilangan sendok daripada kehilangan kamu, Pus!"
Lupus dan Lulu tertawa berbarengan.